Senin, 07 Januari 2008

Studi Hadis Menurut Fazlur Rahman



Sadari Ahmad,S.H.I
Mahasiswa Pasca Sarjana





Studi Hadis Menurut Fazlur Rahman
(Dosen pengampuh : Prof.Dr.H.M.Amin Abdullah)









Abstraksi


Pada mulanya, Fazlur Rahman, seorang intelektual Muslim neo-modernis, merasakan kegelisahan akademik, yang juga dirasakan oleh banyak kalangan Muslim, yaitu tertutupnya rapat-rapat pintu ijtihad, sehingga yang terjadi adalah stagnasi intelektual yang luar biasa di kalangan umat Islam.

Penutupan pintu ijtihad ini, secara logis mengarahkan kepada kebutuhan terhadap taqlid, suatu istilah yang pada umumnya diartikan sebagai penerimaan bi la kaifa(menerima dengan pasrah) terhadap doktrin madzab-madzab dan otoritas-ororitas yang telah mapan. Kegelisahan Rahman berikutnya adanya fenomena di kalangan pembaharu Islam yang dalam melakukan pembaharu umumnya metode yang digunakan dalam menangani isu-isu legal masih bertumpu pada pendekatan yang ad hoc dan terpilah-pilah (fragmented) dengan mengeksploitasi prinsip takhayyur serta talfiq. Penerapan metode ini tentu saja menghasilkan pranata-pranata hukum yang serampangan, arbriter dan self contra-dictory.

Studi Fazlur Rahman terhadap hadis memiliki arti yang sangat penting terhadap pembaharuan pemikiran Islam, khususnya sumbangannya dalam bidang metode dan pendekatan. Pendekatan historis yang ia tawarkan adalah kontribusi positif terhadap studi hadis yang selama ini disibukkan oleh studi sanad, yang menutrut ia, walau memberi informasi biografis yang kaya, tetapi tidak dapat dijadikan argumentasi positif yang final. Umat Islam dewasa ini, menurut Rahman, membutuhkan upaya yang metodologis untuk mencairkan kembali hadis-hadis yang ada ke dalam bentuk sunnah yang hidup (living sunnah) melalui studi historis terhadapnya. Fazlur Rahman telah menelaah karya-karya intelektual sebelunya yang terkait dengan studi hadis, antara lain Ignaz Goldziher, Margoliouth, H. Lammens, dan Joseph Schacht.

Ruang lingkup studi Rahman adalah hadis yang dimulai kajiannya dari konsep-konsep sunnah pada awal sejarah Islam sampai formalisasi hadis, serta menawarkan sebuah pendekatan historis dalam studi tersebut. Maka kata kuncinya adalah sunnah yang hidup (living sunnah), idea moral ( ratio legis), dan legal spesifik. Studi hadis Fazlur Rahman memberikan beberapa kontribusi yaitu pengetahuan baru tentang metode kritik terhadap hadis, memberi jalan alternatif atas kebekuan metodologis pemikiran Islam, khususnya pemikiran hukum Islam yang selama ini mensandarkan diri pada bangunan metodologis ulama madzab yang beraroma formalistik, skripturalistik dan atomistik, dan memberi sumbangan signifikan untuk merekonstruksi metode-metode istinbath sehingga lebih feasible terhadap tantang jaman.

Fazlur Rahman mengawali penulisannya dengan memaparkan secara singkat kegelisahan intelektualnya tentang kondisi real umat Islam yang terbelenggu dengan tertutupnya pintu ijtihad.. Selanjutnya Rahman menguraikan evolusi historis hadis dari perkembangan awal hadis di masa Nabi.Pada akhirnya Rahman menawarkan metodologi dalam studi hadis untuk mengembalikan kembali hadis menjadi sunnah yang hidup (living sunnah) melalui pendekatan historis yang dipadu dengan pendekatan sosiologis.



A. Pendahuluan
Kegelisahan akademik yang dirasakan oleh Fazlur Rahman ialah bahwasannya ia menyayangkan pandangan para ulama tradisionalis yang menempatkan hadist sebagai doktrin yang berharga mati. Pandangan yang tidak saja menafikan gerak dinamis perkembangannya, tetapi juga menyebabkan pemikiran yang parah di tubuh umat Islam. Fazlur Rahman juga menyayangkan sarjana Barat yang mengatakan bahwa hadits tak dapat dipandang sebagai sumber kedua Islam, karena hadits baru ditemukan belakangan.
Telaah Fazlur Rahman terhadap hadits mempunyai arti yang sangat penting sebab Islam dewasa ini sebenarnya memerlukan metode untuk menafsirkan hadits supaya sesuai dengan perkembangan zaman.Terkait dengan studi hadits, Fazlur Rahman telah menelaah karya-karya seperti Ignas Galdzier, Snouck Hurgronye, Margoliouth dan Lammens dan dan Joseph Schasht.
Ruang lingkup kajian Fazlur Rahman adalah evaluasi konsep hadits dan sunnah berdasarkan tinjauan histories. Sedangkan istilah kunci dari penelitiannya antara lain : sunnah Nabi, gerakan hadits, dan ijtihad. Fazlur Rahman terhadap hadits memberikan beberapa kontribusi :
1. pertama, memberikan sumbangan metodologis terhadap kajian bermanfaat bagi pengembangan studi krisis di masa-masa yang akan dating.
2. Kedua, mendorong penafsiran yang lebih kreatif terhadap hadits, sebagai bagian dari ajaran Islam, sesuai dengan lingkungan sosial-historis yang bermacam-macam.
Rahman memulai tulisannya dengan menjelaskan beberapa konsep sunnah, ijtihad dan ijma' pada awal sejarah Islam. Kemudian evaluasi hadits dan masa Nabi hingga la menawarkan suatu studi hadits,

B. Kegelisahan Akademik

Bermula dari kegelisahan paling mendasar dari seorang intelektual neo-modernis, Fazlur Rahman, yang pasti juga dirasakan oleh banyak kalangan Muslim, yaitu kondisi di mana kaum Muslim telah menutup rapat-rapat pintu ijtihad, sehingga yang terjadi adalah stagnasi intelektual yang luar biasa. Rahman merasakan situasi ini sangat tidak kondosif untuk mengetengahkan Islam sebagai agama alternatif di tengah gelombang perubahan zaman yang kian dinamis.Tertutupnya pintu ijtihad telah mematikan kreatifitas intelektual umat yang pada awal-awal sejarah umat Islam tumbuh begitu luar biasa. Pada akhirnya Islam menjadi seperangkat doktrin yang beku dan tentu sulit untuk tampil memberi jawaban-jawaban atas problem keummatan di tengah gelombang modernitas.
Penutupan pintu ijtihad ini, secara logis mengarahkan kepada kebutuhan terhadap taqlid, suatu istilah yang pada umumnya diartikan sebagai penerimaan bi la kaifa terhjadap doktrin madzab-madzab dan otoritas-ororitas yang telah mapan. Dalam memberlakukan sumber ajaran Islam – al-Qur’an dan Sunnah nabi – umat Islam mengembangkan suatu sikap yang kaku lewat pendekatan-pendekatan ahistoris, literalistis dan atomistis.Situasi seperti itu segera memancing reaksi dari para pembaharu Muslim untuk melakukan langkah-langkah “penyelamatan” terhadap ajaran Islam yang kian keropos oleh sejarah. Akan tetapi – sebagaimana disaksikan oleh Fazlur Rahman -, mereka dalam melakukan pembaharuan umumnya metode yang digunakan dalam menangani isu-isu legal masih bertumpu pada pendekatan yang ad hoc dan terpilah-pilah (fragmented) dengan mengeksploitasi prinsip takhayyur serta talfiq.
Penerapan metode ini tentu saja menghasilkan pranata-pranata hukum yang serampangan, arbriter dan self contra-dictory. Memungut fragmen-fragmen opini masa lampau yang terisolasi – tanpa mempertimbangkan latar kesejarahannya – kemudian menyusunnya ke dalam sejenis mosaik yang tidak semena-mena dengan menyelundupkan di bawah permukaannya sebagai struktur ide yang dipinjam dari Barat – tanpa mempertimbangkan kontradiksi atau inkonsistensi – jelas merupakan pembaharuan yang artifisial dan tidak realistis. Itulah sebabnya, seorang Josept Schacht menegaskan : “Yurispridensi dan legislasi Islam kaum modernis, agar dapat bersifat logis dan permanen, tengah membutuhkan suatu basis teoritis yang lebih tegar dan konsisten”.
[1] Dalam iklim pembaharuan yang lesu semacam ini munculah Fazlur Rahman dengan menawarkan seperangkat metodologi yang sitematis dan komprehensif, khususnya yang terkait dengan penggalian terhadap sumber-sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi. Tawaran Rahman dalam kajian hadis dengan menekankan pada pendekatan historis telah memberi angin segar terhadap arah pembaharuan ajaran Islam yang lebih paradigmatis.
C. Pentingnya Topik Penelitian

Rahman memandang bahwa umat Islam sekarang ini memerlukan landasan metodologis untuk menafsirkan dan menempatkan hadits secara kontekstual, sehingga hadits tidak lagi dipandang sebagai suatu ajaran yang beku. Suatu pandangan yang tidak saja menafikan gerak dinamis perkembangannya tetapi juga menyebabkan degradasi pemikiran di tubuh umat.

D. Hasil Penelitian Terdahulu

Studi Fazlur Rahman tentang hadis merupakan respon terhadap kontroversi yang berkepanjangan mengenai sunnah dan hadis di Pakistan, dan terhadap situasi kesarjanaan Barat. Di bawah ini adalah gambaran secara singkat situasi kesarjanaan Barat terkait dengan konsep sunnah dan hadis.Ignaz Goldziher dapat dikatakan sebagai sarjana Barat pertama yang melakukan studi kritis hadis. Dalam karya munomentalnya, Muhammadanische Studien (vol. 2, 1890), ia mengemukakan bahwa fenomena hadis berasal dari zaman Islam yang paling awal. Akan tetapi karena kandungan hadis yang terus membengkak pada masa-masa selanjutnya, dan karena dalamsetiap generasi Muslim materi hadis berjalan pararel dengan doktrin-doktrin aliran fiqih dan teologi yang seringkali saling bertabrakan, maka Goldziher menilai sangat sulit menemukan hadis-hadis yang orisinil berasal dari Nabi.
[2]
Margoliouth dalam Early Development of Islam, mengemukakan bahwa Nabi Muhammad sama sekali tidak meninggalkan sunnah ataupun hadis, dan bahwa sunnnah yang dipraktekkan kaum Muslim awal sama sekali bukan merupakan sunnah Nabi, melainkan kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab pra-Islam yang telah dimodifikasi al-Qur’an. Margoliuoth juka mengemukakan bahwa dalam rangka memberikan otoritas dan normativitas terhadap kebiasaan-kebiasaan tersebut, kaum Muslim pada abad kedua Hijriyah telah mengembangkan kosep sunnah Nabi dan menciptakan mekanisme hadis untuk merealisasikan konsep tersebut.
[3]
H. Lammens, dalam bukunya Islam ; Beliefs and Institutions, memperlihatkan pandangan yang sama dengan Margoliouth dan menyatakan dengan singkat bahwa praktek sunnah pasti sudah mendahului perumusannya dalam hadis. Joseph Schacht dalam bukunya The Origin of Muhammadan Jurisprudence, menyatakan – sebagaimana Margoliuth - bahwa konsep sunnah Nabi merupakan kreasi kaum Muslim belakangan. Menurutnya sunnah mencerminkan kebiasan tradisional masyarakat yang membentuk “tradisi yang hidup” dan “tradisi yang hidup” itu adanya mendahului hadis (tradisi Nabi), Ketika hadis pertama kali beredar – sekitar menjelang abad kedua hijriyah – ia tidak dirujukkan kepada Nabi, tetapi pertama-tama kepada tabi’in, baru pada tahap berikutnya, dirujukkan kepada sahabat dan Nabi.
[4]
Dalam kajiannya mengenai sunnah dan hadis, Rahman memang mengkonfirmasi temuan-temuan atau teori-teori para sarjana Barat tentang hal itu, tetapi dia tidak sepakat dengan teori mereka bahwa konsep sunnah merupakan kreasi kaum Muslim yang belakangan. Bagi Rahman, konsep Sunnah Nabi merupakan “konsep yang shahih dan operatif sejak awal Islam dan tetap demikian sepanjang masa”.
[5] Dan dari sinilah posisi unik Rahman di antara pemikir-pemikir Barat yang telah terlebih dahulu melakukan studi terhadap hadis. Rahman tidak apriori terhadap eksistensi hadis dalam hasanah pemikiran Islam, tetapi juga tidak menerima begitu saja teori resmi dan baku tentang hadis yang terwadahi dalam ulumul hadis versi ulama-ulama hadis. Dan yang terpenting dalam studi Rahman terhadap hadis adalah, bagaimana ia menawarkan pandekatan dan metode baru dalam memahami dan mengoperasikan hadis dalam khasanah intelektual Muslim dewasa ini.

E. Teori dan Pendekatan

Dalam karyanya Fazlur Rahman menggunakan metode penelitian histories, yaitu memahami pembentukan serta evaluasi konsep hadits dalam konteks social historisnya. Sehingga Rahman memulai usahanya dengan pembahasan mengenai bebarapa konsep yang berkaitan dengan hadits, seperti, sunnah Nabi, sunnah yang hidup, ijtihad dan ijma'.
Sunnah menurut Rahman adalah sebuah konsep perilaku, baik yang diterapkan kepada aksi-aksi fisik maupun kepada aksi-aksi mental. Dan karena sesungguhnya tingkah laku disini adalah tingkah laku dari pelaku-pelaku yang sadar, pelaku-pelaku yang dapat memiliki aksi-aksi mereka maka sebuah tidak hanya merupakan sebuah hukum tingkah laku (seperti hukum-hukum dari alam) tetapi juga merupakan sebuah hukum mental yang bersifat normative : keharusan moral adalah sebuah unsur yang tidak dapat dipindahkan dari pengertian konsep sunnah. Bahwa pada dasarnya sunnah berarti : tingkah laku yang merupakan teladan.
Dari konsep tingkah laku normatif atau teladan tersebut lahirlah konsep tingkah laku standar atau benar sebagai sebuah pelengkap yang perlu. Jika saya memandang bahwa tingkah laku seseorang patut dijadikan teladan dan jika saya mengikuti teladan tersebut, maka tingkah laku akan mendekati standar . Jadi ke dalam pengertian yang melengkapi perkataan "sunnah" termasuk unsure "keluruan" atau kebenaran. Pengertian seperti inilah yang terkandung di dalam ucapan "saran dan tariq" atau "jalan yang tidak menyimpang.
Secara garis besarnya sunnah Nabi lebih tepat jika dikatakan sebagai konsep pengayoman bahwa ia mempunyai sebuah kandungan khususnya yang bersifat mutlak. Hal secara teoritis dapat kita simpulkan langsung dari kenyataan bahwa sunnah adalah sebuah terma perilaku(behavioral) karena didalamnya prakteknya tidak ada dua buah kasus yang benar-benar sama latar belakang situasionalnya-secara moral, psikologis dan material – maka sunnah tersebut harus dapat di interprestasikan dan diadaptasikan.
Sunnah Nabi lebih merupakan petunjuk arah dari pada serangkaian peraturan-peraturan yang telah ditetapkan, bahwa pengertian "sunnah ideal" yang seperti inilah yang dijadikan landasan pemikiran kaum muslimin dimasa itu, dan bahwa ijtihad dan ijma' adalah pelengkap-pelengkapnya yang perlu, ,sehingga sunnah itu semakin dapat disempurnakan.
“sunnah" bermula dari "sunnah ideal" Nabi dan secara progresif telah diinterpretasikan oleh Ra'y (pernikiran bebas secara individual) dan Qiyas (pemikiran sistematis). Sedang ijma' adalah intetpretasi sunnah atau sunnah dengan pengertian sebagai praktek yang telah disepakati secara bersama begitu ia secara perlahan-lahan diterima oleh umat.
Oleh karena itu, diantara al-Qur'an dan sunnah ideal disatu pihak dengan ijma’ atau sunnah dalam pengertian sebagai praktek yang disepakati bersama pihak lain, tidak terdapat aktifitas qiyas atau ijtihad. Jadi sunnah-ijtihad-ijma' merupakan hubungan organis yang menyempurnakan sunnah Nabi yang sedikit dan tidak spesifik tersebut menjadi aplikatif dalam kehidupan keseharian kaum muslimin.
Sunnah Nabi ini bisa berkembang kreatif menjadi "sunnah yang hidup" melalui ijtihad dan ijma' yang dilakukan kaum muslimin awal. Hubungan ini terganggu dengan adanya gerakan hadist yang muncul sangat pesat pada abad kedua dan telah terasa dampaknya pada abad ketiga hijriyah. Gerakan ini membawakan pesan-pesan keseragaman tentang wewenang Nabi. Sunnah yang semula interpretatif berubah menjadi suatu petunjuk yang tegas, harus ditafsirkan secara literal, dan hanya dapat dilakukan dengan menyiarkan hadist. Gerakan hadits memperoleh perkembangan pesat, meskipun kebanyakan hadits dinyatakan tidak bersumber dari Nabi.
Gerakan ini dipelopori oleh Al-Syafi'i yang menjadikan hadist sebagai "sunnah yang hidup". Peranan berikutnya diberikan kepada sunnah para sahabat, terutama empat khalifah yang pertama. Peranan ketiga ditempati ijma’ dan terakhir ijtihad. Menurut Rahman, proses ini telah merusak hubungan organis antara sunnah-ijtihad-ijma' yang mampu menciptakan dialektika yang hidup dengan kenyataan aktual di masyarakat. Ijma’ sebagai produk dari ijtihad tidak lagi merupakan proses yang menghadap kedepan, melainkan menghadap kemasa lampau.
Penelitian Rahman ini dimaksudkan untuk mengembalikan hadist yang hidup" sehingga norma-normanya dapat daterapkan dalam konteks masa kini. Rahman tidak mengatakan bahwa secara garis besarnya hadits benar-benar historis. Menurutnya kebanyakan hadist tidak bersumber dari Nabi, namun sudah tentu semangatnya berasal dari Nabi, hadits itu adalah cerminan dari “ sunnah yang hidup”, sedangkan “ sunnah yang hidup “ merupakan penafsiran terhadap sunnah Nabi.

F. Ruang Lingkup Dan Istilah Kunci Penelitian

Ruang lingkup penelitian Fazlur Rahman ini adalah evaluasi konsep hadits berdasarkan tinjauan historis. Sedangkan istilah kunci dari penelitian ini adalah formulasi, gerakan hadist, sunnah dan ijtihad.





G. Kontribusi Terhadap Ilmu Pengetahuan

Studi yang dilakukan Fazlur Rahman ini berusaha mengoreksi dan menyempurnakan penelitian-penelitian terdahulu, baik yang dilakukan oleh sarjana muslim maupun sarjana Barat. Sumbangan Fazlur Rahman yang terpenting dari penelitian hadist ini adalah : mendorong penafsiran yang lebih kreatif terhadap hadist, sebagai bagian dari ajaran Islam, sesuai dengan lingkungan sosial historis yang beraneka ragam.


H. Sistematika Penulisan

Fazlur Rahman memulai tulisannya dengan menjelaskan konsep sunnah, ijtihad, dan ijma' pada awal sejarah serta mengoreksi beberapa pandangan sarjana Barat mengenai sunnah. Selanjutnya menguraikan tentang evaluasi hadits dari perkembangan awal hadist dimasa Nabi dan akhirnya Rahman menjelaskan bagaimana sunnah Nabi dapat di manifestasikan dalam bentuk yang kreatif, termasuk keharusan menafsirkan sunnah tersebut dalam kehidupan kekinian.

I. Kesimpulan

Apakah benar hadis sudah ditulis sejak masa Rasulullah s.a.w.? Fazlur Rahman berpendapat hadis belum ada pada periode Rasulullah. Yang ada kala itu adalah sunnah – yaitu praktek keagamaan yang dilakukan secara tradisi karena keteladanan Nabi-, yang setelah Rasulullah wafat, berkembanglah penafsiran individu terhadap teladan Rasul itu. Boleh jadi sebagian sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tetapi sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Kemudian sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang ini, diekspresikan dalam hadis. Hadis adalah verbalisasi sunnah. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah ke dalam hadis ini telah memasung proses kreatif sunnah dan menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku.
Perbedaan hadis Bersamaan dengan perbedaan lahirlah ra’yu yang menonjol dalam proses interpretasi keagamaan. Karena sejumlah hadis hilang, orang-orang mencari petunjuk dari ra’yu-nya. Dalam pasar ra’yu yang bebas (dalam kenyatannya, pasar gagasan umumnya tidak bebas) sebagian ra’yu menjadi dominan Ra’yu dominan inilah, menurut Fazlur Rahman, kemudian menjadi sunnah. Sebuah ra’yu menjadi dominan boleh jadi karena proses kreatif dan adanya demokrasi, boleh jadi juga karena ada intervensi dari penguasa. Dalam semua kejadian itu, dominasi ra’yu sangat ditopang oleh hilangnya catatan-catatan hadis. Untuk memperparah keadaan, tidak ada rujukan tertulis menyebabkan banyak orang secara bebas membuat hadis untuk kepentingan politis, ekonomis dan sosiologisnya. Kemudian ditambah panjangnya rangkaian periwayatan hadis telah memungkinkan orang-orang menambahkan kesimpulan dan pendapatnya pada hadis-hadis. Tidak mengherankan bila kemudian Fazlur Rahman sampai pada kesimpulan, hadis adalah produk pemikiran kaum muslim awal untuk memformulasikan sunnah. Sunnah pada gilirannya kelihatan sebagai produk para ahli hukum Islam, yang kemudian dinisbatkan kepada Nabi. Secara kronologis dapat dijelaskan sebagai berikut : Mula-mula muncul hadis, kemudian ada upaya dua khalifah untuk menghambat kemunculannya, terutama, dalam bentuk tertulis. Timbullah sunnah, yang lebih merujuk kepada tema perilaku yang hidup di tengah-tengah masyarakat, daripada teks. Ketika hadis-hadis dihidupkan kembali, melalui kegiatan pengumpul hadis, kesulitan menguji otentisitas dan validitas hadis menjadi sangat besar.















BIBLIOGRAFI


Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Karachi : Central Institute of
Islamic Research, 1965

___________, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung ; Pustaka, 1984
___________, Islam and Modernity; Transformation of an Intellectual
Tradition, Chicago ; The University of Chicago Press, 1982

Ignaz Golziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Stern, London : Goerge
Allen & Unwin, 1971

Josept Schacht, The Origin of Muhammadan Jurisprudence, London : Oxfort at
The Clarendon Press, 1971, h. 2-58, 80-189

Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas : Studi Atas pemikiran
Hukum Fazlur Rahman, Bandung : Mizan, 1994








[1] Lihat Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas : Studi Atas pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung : Mizan, 1994, h. 39-40

[2] Ignaz Golziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Stern, London : Goerge Allen & Unwin, 1971, h. 38

[3] Lihat Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung ; Pustaka, 1984, h. 45

[4] Josept Schacht, The Origin of Muhammadan Jurisprudence, London : Oxfort at The Clarendon Press, 1971, h. -58, 80-189

[5] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Karachi : Central Institute of Islamic Research, 1965, h. 5-6

1 komentar:

Unknown mengatakan...

http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/07/24/pemikiran-2/ kok sama?