Kamis, 03 Januari 2008

Hak-hak Wanita Dalam Islam

Sadari Ahmad, S.H.I

Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Jogyakarta

Makalah Matakuliah : Hukum Perkawinan dan Perceraian di Dunia Islam
(Dosen Pengampuh : Prf.Dr.Khoiruddin Nasution, M.A)
HAK - HAK PEREMPUAN DALAM ISLAM

A. Pendahuluan




Sekitar abad ke duapuluh banyak sekalai tantangan di berbagai negara Islam di dunia. Modernisasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, telah mengubah pertumbuhan ke arah industrialisasi dan urbanisasi. Sehingga dari hasil pengembangan ini telah merubah kondisi sosial amat besar, diantarnya adalah struktur keluarga dan terutama di dalam peran para wanita dan peranannya di dalam Masyarakat Muslim. Sepanjang periode lama telah merendahkan status wanita lebih rendah dari pria, untuk itulah diamasa periode modern ini ingin mempertanyakan dan untuk mewujudkan serta menghadirkan ideal yang islamic. Terutama, sesuatu yang bersifat konflik yang tidak bisa dipisahkan antara tradisi yang islamic dan tuntutan zaman modern?



Pokok wanita dan keluarga di dalam islam adalah sesuatu yang sulit, penuh dengan kesalah pahaman. Suatu kenyataan yang telah diterima dalam praktiknya yakni
1. veiling(burqa) dan
2. pingitan (purda)




Islam adalah suatu agama yang tidak mengajarkan apapun hak-hak untuk para wanita secarah penuh untuk lebih takluk pada seorang pria. Sesungguhnya, ini adalah jauh dari kenyataan yang Qur'anic, dari gambaran yang muncul dari awal sejarah islamic. Suatu penyebab posisi para wanita rendah di dalam masyarakat Islam menunjukkan bahwa situasi seperti itu mencerminkan bukan isi maupun roh yang asli dalam al-Qur'an.
Banyak dari praktek sosial dan praktek sah dalam undang-undang yang mengabadikan status para wanita begitu rendah melalui pengaruh dari kebiasaan sosial dalam abad pertengahan dan masa lampau waktu itu. Sejak itulah kebiasaan ini menerobos kultur islamic dan kemudian menjadi norma-norma yang diterima, norma itu secara alami dianggap sebagai ajaran islam. Dan sejak itu dikenali sebagai islam, Norma itu kemudian telah dipandang sebagai aturan yang tak dapat berubah dan sesuatu yang suci dalam ukuran sosial.
Pengenalan yang standard ini, telah ditampakkan pada masyarakat pertengahan, adalah sesuatu tidak bisa bertahan lama dan tidak pas untuk dihadirkan dalam kondisi sosial yang akan datang sebagai akibat sosial dan ekonomi di dalam abad ke duapuluh itu. Sikap pada abad pertengahan ini dan nilai-nilai mengenai para wanita dan keluarga Islam sudah seharusnya untuk melanjutkan perubahan sosial. Posisi wanita-wanita di dalam islam dapat dan harus dipandang dari dalam konteks historisnya.
Dalam rangka lebih baik memahami itu mengubah peran para wanita muslim dan hubungannya dalam tradisi yang islamic, studi ini akan menguji status para wanita di dalam masyarakat islam, dari suatu historis dan perspektif kemasyarakatan.
Posisi para wanita di dalam zaman klasik akan dipandang berbeda dengan statusnya di dalam masyarakat Arab pre-islamic dalam rangka itulah islam memberikan suatu pemahaman pada status itu di dalam periode klasik. Lebih lanjut, ini akan memberikan suatu nilai yang menguntungkan dari pandangan yang buruk tentang status wanita sepanjang periode pertengahan itu. Catatan ini, dalam rangka memberikan perhatian khusus mengenai pribadinya dengan melakukan diskusi dari beberapa faktor yang mendukung posisi para wanita yang tertekan di dalam Masyarakat Orang Islam pertengahan adalah suatu stuasi yang harus diteruskan keberadaannya hingga menuju ke periode yang modern itu.

B. Wanita Pada Masa Arabia Pre-Islamic




Suatu tinjauan ulang tentang status para wanita yang dipandang rendah di dalam zaman pre-islamic memberikan suatu pemahaman masih adanya perubahan yang telah dikenalkan dalam al-Qur'an untuk meningkatkan posisi mereka di dalam islam klasik. Di dalam suatu masyarakat primitif yang terancam oleh kemiskinan dan kelaparan, bayi wanita yang tidak mempunyai potensi yang sama untuk mobilitas dan kekuatan individu sebagai pria, sering mewakili suatu beban besar. Satu penjelmaan dari sikap ini adalah praktek pembunuhan terhadap bayi wanita pada zaman pre-islamic. Keberadaannya ini ditegaskan dalam al-Qur'an:
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah.
Ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.[1]
Sebab mereka lebih kuat dan lebih tangkas dibanding para wanita, kebanyakan dari tugas-tugas penting suatu masyarakat pengembara(kemampaun berjuang/berkelahi sebagai prajurit, untuk menyerang binatang, untuk menangkap makanan), menjadi lebih baik dilaksanakan oleh kaum pria. Para wanita, yang mudah diperdaya dengan kekerasan dan banyak hidup mereka yang diperlemah oleh kehamilan atau membatasi gerakan dengan pemeliharaan anak-anak, bisa dengan mudah dijadikan alasan kekurangan bagi suatu suku bangsa. Para wanita adalah sering dalam bahaya cuma dijadikan seperti isteri atau selir musuh, suatu aib serius untuk keluarga mereka. Seperti itu, kondisi sosial dan kelangsungan hidup untuk keperluannya.
Sebagai tambahan, penurunan dari status para wanita dapat melekat pada jenis perjanjian perkawinan. Di masa Arabia, perkawinan dapat dikategorikan mejadi dua :
1. Seseorang berdasar pada kekerabatan wanita (sadlqa) dan
2. Pria didasarkan pada pertalian keluarga(bal).




Faktor lain yang mendukung status para wanita lebih rendah adalah hak orang tentang poligami tak terbatas, ketidak-tentuan semata-mata ketika kemampuan pria untuk menangkap atau membeli wanita-wanita. Seperti hak hidup sepanjang; seluruh Byzantium, Persia, Syria Dan Arabia.




C. Perubahan Quranic Dan Periode Yang Klasik
Praktek mas Pre-Islamic tentang perkawinan sementara(mut'a) dan tak terlarangnya poligami telah dibatasi dalam jumlah isteri, yakni empat. Pembatasan ini nampak untuk menghadirkan suatu Kecenderungan al-Qur'an ke arah yang lebih baik, monogami, suatu format perkawinan yang tidaklah mungkin pada waktu itu. Social, keadaan selama periode ini, poligami dapat diterima, dan keberadaan dari banyak para janda dan yatim piatu yang ditinggalkan oleh orang-orang yang telah meninggal dalam pertempuran dan sedang kekurangan perlindungan dalam perkawinan. Dari situlah dapat dipahami bahwa adanya pernyataan tidak syah poligami. Seperti itu, Sajak Ayat al-Qur’an dari yang mana kendali poligami diperoleh harus dipahami dalam konteks permasalahan sebagai hasil perang Uhud, 3/625, yang yang telah menyebabkan kematian beberapa persen dari substansial dari Orang-orang Islam:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[2]
Dalam pandangan Pembaharu Islam, perintah al-Qur'an menganjurkani monogami dengan menekankan keperluan untuk perlakuan yang sama dari tiap isteri. Lebih dari itu, kesukaran, dan ketidakmungkinan kita untuk bisa melakukannya dinyatakan dalam ayat yang berikut:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.[3]
Di dalam usaha lain untuk memperkuat posisi perempuan di dalam perkawinan, al-Qur'an menyatakan kapasitas yang sah tentang undang-undang penuh mengenai perjanjian perkawinan dan menerima mas kawin(mahr). Hanya isteri, kemudian, dan bukan bapaknya atau lainnya, seperti tadinya kebiasaan, adalah untuk menerima mas kawin dari suaminya:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan “[4]
Seperti itu, perempuan menjadi suatu mitra sah tentang undang-undang kepada perjanjian perkawinan bukannya suatu obyek yang akan dijual.
Maraknya perbedaan keyakinan di dalam dunia Barat, tujuan yang asli awal Iman Islam bukanlah untuk mendorong pada perdebatan yang dapat mengecilkan hati. Tentu saja, Nabi sendir mengatakan"... dari semua berbagai hal yang diijinkan, adalah perceraian akan tetapi sangat dibenci oleh Tuhan." Bagaimanapun, di mana jika perceraian adalah satu-satunya alternatif, al-Qur’an mencari untuk melindungi perempuan dan haknya. Jadi orang-orang yang sedang mempertimbangkan perceraian dari isteri mereka secara konstan diperintahkan untuk memperbaharui kembali sebelum perceraian itu benar-benar terjadi yaitu dengan adanya ‘idda(masa tunggu) tentang tiga bulan, memberi pemeliharaan penuh selama periode ini, sebelum suatu perceraian akhir dapat berlangsung. Jika seorang isteri adalah hamil, masa tunggu diperluas sampai penyerahan dari anaknya.
Suatu penyalahgunaan umum di dalam Masyarakat Arab Pre-Islamic terjadi ketika seorang laki-laki menceraikan isterinya di dalam suatu kemarahan dan kemudian sama halnya dengan banyak tingkah, mengambil nya kembali. Praktek ini hidup untuk salah satu dua pertimbangan mungkin: untuk meyakinkan isteri itu untuk melepaskan mas kawinnya sebagai pertukaran dengan cuma-cuma akhirnya. Member kebebasan atau untuk mencegahnya dari kawin lagi. Untuk menghapuskan ketidakadilan ini, al-Qur’an memerintahkan bahwa seorang suami boleh menceraikan isterinya tetapi dua kali (al-Qur’an :11, 229) dan bahwa dengan mengabaikan alasannya, sepertiga pengucapan kata-kata' tentang rumusan perceraian membuat suatu perceraian tidak dapat dibatalkan.
Akhirnya, al-Qur’an membangun hak wanita untuk menerima warisan. Di dalam Arabia Pre-Islamic, seperti di peradaban banyak orang, warisan yang dilewati hanya untuk mendewasakan keluarga yang halus kepada para wanita secara total yang merdeka untuk kelangsungan hidup mereka. Bagaimanapun, di dalam Masyarakat Islam(Umma) lebih pada penekanan telah ditempatkan di sebelah kanan anggota keluarga, yang terutama para wanita. Perubahan Islam ini dicerminkan peraturan yang baru tentang warisan yang telah dilapiskan atas adanya Praktek. Al-Qur'an memberi hak warisan ke isteri, para putri, para saudari dan para nenek, semua dari siapa yang telah sebelumnya tidak mempunyai hak rangkaian sama sekali. yang baru "Qur’anic dalam Warisan ini” bagian yang sebanding yang diterima status meninggal sebelum Warisan lewat ke atas pria. Hanya setelah Klaim al-Qur’anic ini telah dicukupi, adalah sisa keluarga memberikan kepada keturunan pada pihak laki-laki saja yang paling dekat yang relatives. Secara umum mengatakan, wanita mewarisi telah dihadiahi suatu bagian setara dengan setengah jumlah berikan dari pria.
Sebagai tambahan terhadap Peraturan al-Qur'an spesifik menetapkan dan melindungi hak wanita, al-Qur'an mengumumkan persamaan perempuan beragama dengan orang baik sebagai salam kewajiban mereka untuk mohon dan memimpin hidup berbudi luhur dan persamaan hukuman dan penghargaan mereka di pertimbangan yang akhir. Al-Qur'an menyatakan persamaan beragama mereka dengan cara ini:
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.[5]
Area lain di mana para wanita membedakan diri mereka adalah , hadith ( tradisi) literatur. Di samping fakta bahwa ilmu pengetahuan hadith mengacu pada pengirim tradisi sebagai rijal al-hadith (kebiasaan pria) wanita-wanita sering dimainkan dalam peran terkemuka sebagai pembawa. Seperti itu, sebagai contoh, suatu sumber yang terkenal Sahih al-Bukhari's adalah Karima bint Ahmad ( d. 462/ l066).

D. Kemunduran Status Wanita-Wanita




Periode Yang pertengahan
Di atas cara membawakan kebebasan dan persamaan yang dinikmati oleh para wanita pada awal berabad-abad adalah membentur pada perbedaan mereka lebih menundukkan keadaan di dalam Masyarakat Arab kemudiannya. Kemunduran dari peradaban muslim kedalam feodalism adalah secara umum juga menyebabkan kemunduran status wanita. Sebagaimana Neijla Izzeddin menurut pemahaman penelitiannya:
Ketika Masyarakat Arab adalah para wanita kreatif produktif mengambil bagian dalam aktivitasnya dan bersama kesejahteraan/kesehatan dan kekuatan yang umum. Ketika vitalitas surut pergi dan mundur, perempuan menderita bersama dengan komunitasnya.
Bagaimanapun, satu lagi masalah nyata yang secara langsung berhubungan dengan hilangnya hak para wanita yang mula-mula mewariskannya dalam al-Qur'an adalah pengaruh hukum adat yang kuat. Selama waktu, Islam menyebar ke banyak negeri, interaksi dan persilisihan tentang Perubahan al-Qur'an dengan kebiasaan sosial yang kuat, tentang orang bertobat baru menyempurnakan penyesuaian budaya baru yang secepatnya menurunkan status para wanita. Sebagai contoh, kapan Orang Islam datang ke dalam, kota besar Syria, Mesopotamia, Persia Dan Mesir, wanita-wanita mereka mengadopsi selubung wajah sebagai pemberian/hadiah kepada berlaku kebiasaan sedemikian sehingga mereka tidak akan salah dipahami untuk wanita-wanita dari karakter lepas yang tinggal terbuka dari selubung. Demikian juga, kebiasaan pingitan ( harem atau purdah) yang mula-mula telah dilatih/dipraktekkan Kota Yunani kuno Dan Persia buat caranya kepada Pengadilan Baghdad yang Persianized dan secepatnya memperoleh penerimaan umum di dalam Negeri Islam.
Sungguh sial, melalui berbagai zaman kebiasaan pingitan dan menyelubungi menjadi yang dibenarkan dengan memberi mereka otoritas religius dan sanksi dan dengan begitu menunjukannya ke Islam. Sebagai contoh, al-Qur'an memberi perintah ke Para putri Dan Isteri Muhammad dan para Wanita Islam lain untuk metutup diri mereka dengan pakaian luar ketika berjalan di luar. Instruksi Ini telah diberikan kepada Para pengikut Muhammad yang ada di waktu ini di dalam Mecca tunduk kepada hinaan:
Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[6]

Niat bukanlah untuk membatasi kebebasan wanita-wanita namun juga jalan lintasan ini digunakan untuk membenarkan menyelubungi dikuatkan. Suatu contoh terkemuka dari pertimbangan seperti itu datang dari suatu komentar yang terkenal al-Qur'an yang ditertulis oleh al-Tabari (d.310/923) siapa yang hidup/tinggal kebanyakan dari hidupnya di Baghdad. Penulisannya mencerminkan lingkungannya di mana jika menyelubungi wanita-wanita cuma-cuma sebagai tanda kebesaran berakibat untuk mencirikan mereka dari yang besar jumlah anak-anak perempuan budak terbuka dari selubung. Tafsir Tabari's menginterpretasikan itu di atas ayat dengan cara berikut:
Tuhan katakan kepada Nabi nya, ' Ceritakan kepada para putri dan isteri mu dan isteri yang percaya ketika mereka keluar pintu untuk menjadi tidak seperti para budak wanita di (dalam) garb, meninggalkan mereka dan wajah yang terbuka dibiarkannya mengecewakan bagian dari jubah mereka yang tidak (ada) penjahat boleh menyingkapkannya komentar berbahaya ketika ia menemukannya untuk menjadi para wanita yang bebas’.
Lain pesan penting dalam al-Qur’an, sering salah menafsirkan, sukses dengan ketentuan-ketentuan kesederhanaan, yang adalah serupa untuk kedua-duanya para laki-laki dan perempuan: pesan berikut berlaku bagi para wanita:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka.[7]
Dari keputusan/perintah ini al-Baydawi, pada abad ketiga belas Persia dan dari sekian banyak komentator yang paling terkenal atas al-Qur'an, mencerminkan kebiasaan pada jamannya oleh penafsirannya. Al-Baydawi percaya bahwa" perhiasan" yang disebut adalah wajah perempuan dan dua tangan yang perlu saja terbuka untuk doa/sholat:
Tentu saja keseluruhan badan seorang perempuan cuma-cuma diharapkan untuk dihormati seperti kemaluan dan tidak ada bagian darinya boleh dengan sah dilihat oleh seseorang tetapi suaminya atau famili dekat, kecuali dalam keadaan butuh, seperti ketika dia adalah dalam menjalani perawatan medis atau membuktikan.
Bagaimanapun, di samping usaha komentator untuk membenarkan kebiasaan sosial mereka melalui pesan al-Qur’an, bukti lebih lanjut yang menyelubungi adalah suatu kebiasaan sosial sebagai ganti suatu surat perintah religius datang dari fakta bahwa para Wanita kristiani di dalam Kota besar Arab juga menutup wajah mereka, dan di pada abad ke sembilan belas Mesir kedua-duanya Yahudi dan para Wanita Coptic juga menjaga wajah mereka menyelubungi.
Efek yang negatif menyelubungi dan pingitan, kebiasaan yang telah mula-mula bermaksud untuk memberi penghormatan dan membedakan dengan jelas ke para wanita, datang dengan mengeraskan mereka ke dalam alur pikir untuk menjadi ajaran agama dan menerapkan dengan keras kepada para wanita dalam semua lingkungan. Praktik dari yang asli harem untuk para wanita di dalam istana atau rumah besar, yang mempunyai mobilitas lebih di dalam rumah tangga dan kesempatan untuk gabung dalam aktivitas banyak orang di dalam lingkungan ini, adalah kebiasaan yang sungguh lain untuk para wanita yang lebih miskin mengurung rumah kecil dan menghalangi masyarakat itu. Bagaimanapun terjadi, sekali ketika kebiasaan ini telah diberi otoritas religius genap menuju/mendorong hilangnya hak para untuk didepan umum sholat di mesjid. Beberapa pertanyaan tentang perempuan meninggalkan pingitannya untuk terlibat dalam aktivitas yang akan menarik perhatian publik kepadanya telah disalahkan oleh yang dipelajari. Walaupun al-Qur’an menekankan kewajiban orang dan para wanita religius yang timbal balik, ketidak-mampuan wanita-wanita untuk memuja publik menjadi dibenarkan dan secara berangsur-angsur menuju/mendorong suatu ketiadaan pemujaan mereka sendirian. Ini adalah suatu masalah yang telah memperluas bahkan ke waktu modern. Sebagaimana Muhammad Al-Ghazzali yang diamati mengenai Wanita-Wanita Orang mesir 20 tahun yang lalu,".. .. Sembilan puluh persen dari wanita-wanita yang berkerudung tidak berdoa/ mohon sama sekali; atau pun melakukan tugas-tugas Islam lain dari nama mereka."
Ketiadaan wanita-wanita keikutsertaan di dalam hidup rohani mesjid, yang adalah juga pusat pendidikan dan hidup masyarakat, memaksa mereka untuk memimpin suatu hidup serius perampasan budaya seperti halnya ketergantungan ekonomi absolut. Sebab waktu itu telah dibenarkan para wanita itu adalah tidak pantas untuk jabatan dalam pemerintahan atau ketenaga-kerjaan dan oleh karena itu di dalam tidak usah dari suatu pendidikan.
Pembatasan ruanglingkup dari tugas-tugas dan mobilitas semua wanita kepada peran tak berpendidikan sederhana dan tidak merdeka secara psikologi, secara ekonomis dan secara sosial dari pada kaum laki-laki. Hanya tuntutan ekonomi hidup memperlemah kritikan pingitan, Seperti itu, fellahin dan wanita-wanita badui yang melakukan pekerjaan di luar di dalam bidang atau memimpin migras hidup dibanding pertengahan dan kelas tertinggi status ekonomi siapa tidak pernah mengharuskan pekerjaan atau aktivitas Di luar rumah itu . Wanita-Wanita ini menetapkan norma dan dipenjarakan/ditahan diri mereka di dalam suatu sosial ideal. Jauh mencapai efek contoh mereka ia dapat dilihat gambaran yang rindu untuk harem yang ideal yang dengan kritis yang diuraikan oleh Aziza Hussein yang percaya bahwanya " ideal" adalah bertanggung jawab untuk banyak sikap ambivalen tentang para wanita hari ini. Menurut Mrs. Flussein, tempat kediaman para wanita.
perkawinan adalah suatu perihal untuk diatur oleh keluarga, Sebagai isteri, ketundukan dan kepasifannya kepada tingkah dan keinginan suaminya adalah ukuran suksesnya … pendidikannya, di luar nilai yang utama, adalah penuh diperhatikan suatu pemborosan waktu atau bahkan suatu resiko berbahaya kepada kewanitaannya selagi ketenaga-kerjaannya adalah aib, ketika itu ditandai ketidakmampuan kepala keluarga untuk mengisi fungsi dasarnya sebagai penyedia yang keuangan keluarga … Dia pada umumnya menjadi kekanakan putranya atas biaya putrinya, dan dengan begitu disiapkan dia untuk perannya sebagai penguasa mutlak dari keluarga masa depan miliknya … tanpa fungsi dasar yang dia sering memilih ke sihir dan yang hal-hal yang gaib untuk memberi pelepasan kepada frustrasinya dan perhatian utamanya di dalam sangat melakukan pada umumnya untuk temukan rumusan itu... untuk menjaga suaminya.
Tendensi hidupnya peran terbatas di dalam keluarga dan status yang rendah di dalam masyarakat yang muncul mudah diabadikan untuk generasi. Kehidupan dari dunianya adalah diperluas pada tingkat keluarga, suatu struktur keluarga yang utama untuk banyak dari beberapa berabad-abad di (dalam) Mesir. Suatu Nampak semakin dekat bekerjanya di tingkat keluarga memberikan kita dengan suatu ilustrasi yang penting hidup itu para laki-laki dan perempuan di dalam rumah tangga dan tentang sikap yang tradisional, terhadap pria dan wanita dikembangkan untuk masa kanak-kanak mereka. Dan, sejak tingkat keluarga yang secara alami mencerminkan kebiasaan sosial pingitan dari waktu itu,(wanita pingitan, ketiadaan pendidikan, dll.) suatu analisa keluarga kebiasaan dapat juga membantu ke arah menyediakan pertimbangan untuk yang berangsur-angsur hilangnya tanggung-jawab dan hak para wanita yang diwarisi oleh al-Qur'an.
Tingkat keluarga menjalankan sesuatu dengan sangat praktis, dirinya cukup dalam unit ekonomi di dalam suatu ekonomi agraris. Rumah tangga berisi bapak, isteri, para putri dan para putra belum kawin dan menikah para putra dengan anak-anak dan isteri mereka, semua dari yang telah berperan dirumuskan dengan baik di dalam struktur keluarga. Peran memberikan pada perempuan sebagai kemampuan memberikan keturunan dan pelayanan rumahc adalah paling sesuai kepada pingitannya dan ketiadaan pendidikan, tetapi pantas tidaknya itu tanpa disadari melayani untuk membatasi potensinya dan mengabadikan terus mnerus status lebih rendah. Mencerminkan hilangnya tanggung-jawab dan hilangnya hak para wanita, hampir tiap-tiap karakteristik tingkat keluarga berwujud kekuasaan orang tua dan supremasi pria.
Yang pertama dari semua, keluarga dari patrilineal (garis ayah), yaitu bersandar pada kekerabatan pria. Ini adalah diterangkan dalam Pepatah Arab : " Orang-Orang mempercayakan pada bapak dan bukan pada ibu; ibu seperti suatu kapal minyak yang dikosongkan." Ke dua, adalah patriarkal pria yang paling tua, seperti penguasa keluarga dan kepala tingkat keluarga, mengendalikan semua keluarga dan kekayaan. Oleh karena itu, para putra dalam keluarga sudah takdir tidak memelihara namanya tetapi juga melindungi kekuatan dan kekayaannya. Peran ibu di dalam tingkat keluarga berkisar pada keibuan. Pantas sekali wanita di Kampung digambarkan sebagai suatu " amplop untuk konsepsi," dan gengsi nya dipertinggi oleh banyaknya anak-anak pria dapat menunjangnya. Sekali ketika putra dilahirkan, dentas ibu dipadukan dengannya menyebut dia sesudah itu dipanggil "ibu putra anak sulung" atau " Umm Nabil," sebagai contoh. Keunggulan mampu melahirkan adalah suatu hidup perempuan dapat juga dilihat oleh fakta bahwa ketika seorang perempuan mecapai monoppaus, periode ini hidupnya telah mengarah jadi dikenal sebagai " zaman hilangnya harapan." Tingkat keluarga yang ke tiga partilocal, maksud/arti yang menikah para putra membawa pulang melainkan bersikap merendahkan diri posisi isteri yang muda di bawah otoritas ibu mertuanya dengan ditingkatkan ketika dia melahirkan anak, terutama pria. Pada sisi lain, tak berketurunan atau kegagalan untuk membawa seorang pria anak adalah sering dipertimbangkan alasan-alasan untuk bercerai.
Secara alami, dari suatu segi pandangan keluarga, kelahiran para putra adalah suatu kegembiraan besar karena mereka menentukan pertumbuhan masa depan keluarga dan menggerakkan. Doa perempuan yang pertengahan telah menjadi " Para putra, memberi aku para putra," sedang para teman dan keluarga ingin seorang laki-laki " Tujuh para putra dan tujuh ziarah," karena sebagai suatu pepatah tua mengatakan, " Anak laki-laki adalah tulang punggung keluarga." Bagaimanapun, di dalam perbedaan itu bukanlah sukar untuk memahami keluarga sentiments mengenai kelahiran seorang putri, suatu waktu ketika " ambang pintu suatu rumah menangis untuk 40 hari." Yang pasti, peran wanita-wanita mampu melahirkan adalah paling utama dalam suatu bertumbuh masyarakat sedang kekurangan tenaga kerja tetap, tetapi peran ini akan dipenuhi hanya atas perkawinannya. Oleh karena itu, keluarga lain (yaitu famili suami) telah diperuntukkan untuk menerima keuntungan-keuntungan anak-anak putri akan membawa. Dan, sampai perkawinan, terpisah dari sosial dan intelektual keuntungan-keuntungan dunia luar, dia telah disenangkan secara psikologis dan dengan beralasan untuk lebih dari peran pelayan rumahtangga. Pada lain tangan, saudara laki-lakinya, yang akan berfungsi sebagai penyedia keuangan, secara alami diunjukkan ke sosial lebih besar, peluang ekonomi dan bidang pendidikan dalam rangka kembangkan tanggung jawab dan kemerdekaan mereka.
Dengan perbedaan yang besar antara peluang dan hidup mengalami tersedia untuk para laki-laki dan perempuan, itu tidaklah mengejutkan bahwa wanita-wanita yang telah hilang banyak dari tanggung-jawab dan hak mereka tidak pernah genap dicoba untuk mengakuinya. Sepanjang periode status wanita-wanita rendah, kebiasaan sosial yang mencerminkan peran yang terbatas pasifnya adalah sering pada perbedaan besar dengan prinsip Hukum Islam tertentu. Di dalam pengaturan perkawinannya, sebagai contoh, Hukum Islam menetapkan bahwa putri dan bukan bapaknya menerima mas kawin. Bagaimanapun, penjumlahan yang biasanya berfungsi sebagai " harga pasangan pengantin perempuan" yang diberikan kepada keluarganya. Situasi ini, menirukan praktek di dalam ba'1 perkawinan yang pre-Islamic, adalah satu ilustrasi penyusupan/perembesan dari kebiasaan pre-Islamic ke dalam praktek umum. Kepada tingkat bahwa ini pengaturan memperoleh penerimaan umum, putri, bertentangan dengan Tujuan Qur'anic, menjadi obyek itu dibanding/bukannya pokok persetujuan perkawinan.
Perjanjian Perkawinan dipertimbangkan Islam untuk menjadi perjanjian yang berisi suatu penawaran dan penerimaan antara dua kemerdekaan kelompok yang telah mencapai masa remaja. Bagaimanapun, struktur sosial dan struktur ekonomi tingkat keluarga yang telah membuka peluang terikat kontrak perkawinan oleh para bapak atau kakek pasangan adalah sering anak-anak yang sangat muda, Lagipula, kontrak tidak bisa ditanggalkan oleh anak-anak ketika mereka mencapai pubertas ( Hanafi Hukum).
Kendali pengaturan perkawinan yang digunakan oleh keluarga suami datang dari ketergantungan ekonomi pria pad bapaknya untuk mas kawin dan kebutuhannya untuk persetujuan keluarganya, tentang anak perempuan ia berniat untuk menyadarkan seseorang menyesuaikan diri dengan mereka. Keluarga pasangan pengantin perempuan juga secara alami mempunyai kendali penuh atas pilihan perkawinannya karena anak-anak perempuan, yang dikucilkan di dalam keluarga dan menikah yang sangat muda, kekurangan diskriminasi itu seperti halnya peluang untuk temu orang dapat dipilih dengan sendirinya. Dan, walaupun putri bisa di depan hukum menolak perkawinan yang diatur di dalam situasi tertentu, ini " mengabaikan perintah" pasti telah menyebabkan berbagai kesulitan besar dengan keluarganya.
Penanganan keluarga suatu hak warisan putri juga akibat kebiasaan sosial. Ketika kita sudah melihat, al-Qur'an mencakup isteri, ibu dan para putri di antara yang utama mewarisi yang ditinggal yang berhak atas bagian ditetapkan. Bagaimanapun, memberi struktur pada tingkat sosial keluarga, menghadiahkan para putri dinikahi yang bagian atau uang yang syah mereka adalah sering dipandang sebagai memindahkan kekayaan keluarga ke keluarga orang asing. Dengan begitu hukum ini, dipandang sebagai bertentangan dengan struktur sosial yang ada, adalah sering diabaikan atau mengelakkan melalui waqf pemberkatan religius. Walaupun waqf mempunyai suatu alasan mulia, adalah sial digunakan di masa lalu untuk menghindari menghadiahkan seorang perempuan hak warisannya. Melalui waqf suatu keluarga bisa menetapkan persisnya siapa yang perlu menerima pendapatan dari pemilikan keluarga tertentu. Sebagai hasilnya, beberapa pendiri Waqf yang yang telah menolak para putri mereka manapun bagian di dalam pendapatan dan orang yang lain yang yang telah menetapkan bahwa setelah perkawinan putri melepaskan bagiannya.
Setelah perkawinan, posisi wanita-wanita rendah di dalam keluarga dan masyarakat digambarkan baik oleh praktek yang diterima menceraikan. Kendali Keras hidup putri oleh bapaknya telah ditransfer ke suami itu ketika putri menjadi isteri. Banyak faktor nampak untuk mempunyai mendukung status isteri dan suami yang berbeda. Yang pertama Dari semua, status yang tinggi memberi pria itu dari waktunya kelahirannya seperti halnya yang lebih luas peluang untuk sosial dan pengembangan intelektual menempatkan dia di atas wanita dari masa kanak-kanak. Suatu perbedaan besar di dalam kedewasaan dan mengalami antara suami dan isteri adalah juga dalam kaitan dengan fakta bahwa para putri telah dinikahi yang sangat muda untuk berhemat siapa yang adalah sedikit banyaknya lebih tua, mungkin yang lebih terdididik dan pasti yang lebih menuruti cara duniawi. Secara alami, mempertimbangkan keadaan itu para suami akan main peran dominan di dalam hubungan dari setiap permulaan. Cermin keadaan di atas, seperti halnya suatu betul-betul patriat. bercakap-cakap masyarakat, perceraian telah ditinggalkan hampir semata-mata untuk pertimbangan suami. Sesungguhnya, perlakuan khusus perceraian mengabulkan kepada pria (paling khususnya yang memberikan contoh yang penuh dosa tetapi sah/tentang undang-undang talak al-bid'a) bertindak sebagai salah satu dari yang paling membentur contoh pengaruh dari kebiasaan sosial atas Hukum Islam. Di dalam beribu-ribu tahun perbedaan pengaruh kebiasaan juga telah menunjukkan kekuatannya di dalam hak perceraian terbatas tersedia untuk isteri, di samping itu al-Qur'an mengakatakan
" Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.[8]
Sebagai tambahan, oleh karena situasi yang sosial, isteri yang adalah sangat secara sosial dan secara ekonomis bergantung jarang memulai perceraian genap atas dasar hak ini.
Contoh penting lain kendali suami atas isterinya buat caranya ke dalam praktek sah tentang undang-undang diterima dikenal sebagai Bayt al-ta’a( Rumah ketaatan) yang mana masih berlaku di Mesir hari ini. Dengan Bayt al-ta'a jika seorang isteri meninggalkan rumah suaminya tanpa ijinnya, ia boleh melaporkan kepolisi untuk setengah memaksa dan boleh memenjarakan sampai dia menjadi lebih taat.
Otoritas suami karena perkawinan juga meluas seperti berbagai hal pemeliharaan anak-anak itu. Walaupun peran ibu eksklusif di dalam tradisional tingkat keluarga berkisar pada ketegasan dan pembesaran anak-anak, bapak mereka, setelah perceraian, selalu menerima penjagaan anak-anak lelaki tujuh dan anak-anak perempuan sembilan sebab ia untuk memelihara menjadi wali sah dalam undang-undang mereka. Struktur tingkat keluarga juga memudahkan pengaturan seperti itu wanita-wanita banyak orang (para nenek, tante, dll.) akan didapatkan rumah suaminya untuk mempedulikan anak-anak. Tentu saja, bapak adalah juga memelihara yang sah dlam undang-undang anak dan peran ini membantu ke arah membenarkan haknya karena perkawinan.
Tanggung-Jawab yang keuangan pria di dalam ahli waris dan masyarakat tradisional peran pusat sama para pendukung keluarga melayani seperti suatu faktor penting untuk memahami kuasa-kuasa yang sah tentang undang-undang yang diwarisi kepadanya. Seperti telah tersebut, pria adalah tunduk kepada tanggung-jawab keuangan sangat luas kedua-duanya untuk keluarga mereka dan untuk banyak anggota tingkat keluarga terutama wanita. Pertanda selalu bisa diharapkan memelihara hidup dari keluarga pria terdekat mereka. Tentu, bersama dengan beratnya tanggung-jawab pantas dipertimbangkan dan seperti itu gengsi di dalam masyarakat tradisional, timur dan barat. Sikap ini dicerminkan Keluarga Orang Islam di dalam mazhab Hanafi Kebutuhan seorang laki-laki memelihara isterinya dengan mengabaikan Kepunyaannya kekayaan pribadi. Kewajiban yang tak memenuhi syarat ini juga mengakibatkan sosial kuat menghukum melawan terhadap suatu pencari nafkah wanita-wanita yang akan memalukan kaum laki-laki dengan menyiratkan ketidak-mampuan mereka untuk memenuhi peran tradisional mereka.

E. Kesimpulan




Gambaran yang muncul dari suatu analisa tentang status wanita-wanita di dalam Islam adalah banyak sekali. Implementasi al-Qur’an jelas mengubah dan meningkatkannya pada posisi yang sederajat dalam peran keluarga dan masyarakat. Bagaimanapun, peristiwa historis yang merendahkan status wanita merupakan akibat dari asimilasi dan pengaruh budaya yang terkadang menghilangkan hak yang semestinya diraih.

[1] An-nahl(16) : 58-59.
[2] An-nisaa(4):3
[3] An-nisaa(4):129
[4] An-nisaa(4):4
[5] An-nisaa(4):124
[6] Al-ahzab(33):59
[7] An-nuur(24):31
[8] Al-baqarah(2) : 228

Tidak ada komentar: