Kamis, 03 Januari 2008

Filsafat Ilmu(topik pistemologi)



Sadari Ahmad, S.H.I



(Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Jogyakarta)





Makalah Matakuliah : Filsafat Ilmu(Topik Epistemologi)


(Dosen Pengampuh : Prof.Dr.H.Noeng Muhadjir)



Dari Dekonstruksi Pemikiran ke Dialog Antar-agama







PEMBARUAN pemikiran Islam dan dialog antaragama seolah tak pernah usai diperbincangkan dan didiskusikan. Ada banyak nama pemikir Muslim yang sangat concern dengan kedua agenda ini. Salah satunya adalah Mohammed Arkoun, kelahiran Aljir. Ia memfokuskan perhatiannya pada upaya untuk tidak saja memadukan unsur yang paling mulia dalam pemikiran Islam dan unsur yang paling berharga dalam pemikiran Barat modern, tapi juga merintis dialog antaragama yang tak terkungkung oleh pemahaman-pemahaman klasik model Abad Pertengahan. Arkoun menyerukan sebuah dialog antaragama yang mencerahkan, yang tidak memandang "yang lain" sebagai musuh yang sesaat dan harus diselamatkan. Ia juga telah terlibat dalam dialog antar-agama, khususnya Muslim-Kristen, selama 20 tahun lebih. Dalam proyek pembaruan pemikiran Islam, Arkoun memakai istilah "nalar Islam" dan "nalar modern". Yang dimaksudkan dengan nalar di situ adalah cara berpikir suatu kelompok tertentu. Selain hendak mempertahankan semangat keagamaan dan tempat penting yang diduduki angan-angan sosial dalam masyarakat muslim, Arkoun mengecam kejumudan (kebodohan, kerancuan) dan ketertutupan pemikiran Islam. ***

DALAM perspektif Arkoun, sebagian besar umat Islam belum beranjak dari pembahasan teologis-dogmatis yang kaku dan menganggap hal itu sakral yang karenanya tak boleh diperdebatkan lagi. Katanya, kesediaan untuk melakukan pembahasan secara ilmiah dan terbuka dalam mempelajari dan mengungkapkan etika Al-Quran dengan tetap mengingat konteks sejarah (asbab al-nuzul) adalah upaya untuk menepis kecenderungan negatif di atas. Upayanya itu untuk memahami dan menangkap "isi objektif" Al Quran memang tampak kuat. Pada titik ini Arkoun banyak mengapresiasi tak saja khasanah Islam, tetapi juga pemikiran Barat modern. Pemikiran Barat modern itu diambil rasionalitas dan sikap kritisnya, yang memungkinkan memahami agama dengan cara yang lebih baik, dapat menyingkap serta membongkar ketertutupan dan penyelewengan seperti disebut tadi. Ia sangat apresiatif terhadap semiotika, linguistik, antropologi, sosiologi, dan filsafat. Meskipun demikian, Arkoun juga bersikap kritis terhadap Barat. Misalnya, mengecam kepercayaan terhadap superioritas akal, karena, menurut Arkoun, kepercayaan itu tidak dapat dibuktikan oleh akal (Robert D Lee, 1996). Arkoun melakukan apa yang disebutnya sebagai "kritik nalar Islami", yaitu nalar Islami sebagaimana berkembang dan berfungsi pada periode tertentu dan masih mempengaruhi serta menguasai dunia Islam hingga hari ini. Kendati demikian, nalar Islami ini dikritik karena bukanlah satu-satunya cara berpikir dan memahami sesuatu yang mungkin terjadi di dalam Islam. Untuk melakukan "kritik nalar Islami" ini, ia memakai metode kritik sejarah; berangkat dari masalah bacaan sejarah atau problem historisisme dan problem hermeneutik. Dengan historisisme, Arkoun bermaksud melihat seluruh fenomena sosial-budaya melalui perspektif sejarah: masa lalu harus dilihat menurut strata historikalnya. Kajian historis ini harus dibatasi menurut runtutan kronologis dan fakta-fakta nyata. Jika metode ini diaplikasikan terhadap teks-teks agama, apa yang dibutuhkan adalah makna-makna baru yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut (hal. x). Dalam proyek pembaruan pemikiran Islam ini, Arkoun sering mengajak umat Islam untuk memanfaatkan temuan-temuan positif dari pengkajian kembali seluruh tradisi Islam menurut pemahaman ilmiah yang paling mutakhir. ***

BUKU yang diterjemahkan dari tulisan-tulisan Arkoun yang tersebar di berbagai jurnal ilmiah dan buku yang ditulis bersama orang lain ini, menyiratkan kerisauan Arkoun atas berbagai penyimpangan yang muncul dalam ranah akademis, agama, kultural, dan sosial-politik. Persoalan lain yang menjadi concern Arkoun adalah soal hubungan antara Barat dan Islam. Wacana ini memang menempati posisi penting dalam pemikirannya. Ia tak segan mengkritik para pembaharu sebelumnya yang kurang tepat dalam memandang Barat (Eropa). Muhammad Abduh, pembaharu dari Mesir misalnya, meski dipandang berani dan mencerahkan, tapi di mata Arkoun ia telah bertindak layaknya seorang apolog. Para apolog menurut Robert D Lee dalam pengantar buku Rethinking Islam (1996), mencoba menghadapi Barat sentris dengan Islam sentris, mencoba mempertahankan ide bahwa hanya ada satu Islam yang secara superior dan eksklusif mampu menemukan kebenaran. Sikap eksklusif ini amat ditentang Arkoun. Problem dialog antaragama yang berlangsung selama ini pun tidak terlepas dari persoalan di atas. Menurut kesaksian Arkoun, kaum agamawan merasa berkewajiban untuk berdiri melawan yang lain-tidak berusaha memasuki perspektif orang lain, tetapi melindungi, mengklaim, dan menegaskan "nilai-nilai" spesifik atau "otentisitas" yang tidak dapat dilampaui dalam agama masing-masing. Referensi-referensi teologis, menurut Arkoun, digunakan sebagai sistem kultural untuk saling bersifat eksklusif dan tidak pernah digunakan sebagai alat untuk melampaui kungkungan tradisional. Alih-alih melakukan pemikiran keagamaan yang baru, mereka justru terperangkap pada kubangan persepsi lama yang sudah memfosil. Fenomena seperti itu diperparah oleh fakta yang menyedihkan, bahwa tradisi keilmuwan lebih sering tidak dapat membantu kita untuk bergerak menuju pemikiran keagamaan yang baru. Untuk menyukseskan agenda dialog antaragama, khususnya antar-tiga agama Semit, Arkoun mengajukan beberapa hal penting. Pertama, melakukan pemikiran ulang tentang agama dan masyarakat menuju suatu era pemikiran baru berdasarkan solidaritas historis dan integrasi sosial. Kedua, melakukan reformasi pemikiran dari pemikiran teologis eksklusif menuju kritisisme radikal tanpa konsesi radikal terhadap "akal religius" sebagaimana fungsinya dalam tradisi tiga agama Semit itu. Ketiga, perlunya studi agama secara historis-antropologis. Di luar semua itu, melalui terjemahan buku ini, publik di negeri kita "dipermudah" untuk memahami dan mengapresiasi pemikiran Mohammed Arkoun, seorang intelektual muslim radikal yang pemikiran-pemikirannya dipengaruhi oleh kalangan posmodernis. Dengan memahami gagasan dan pendapat-pendapat Arkoun, kita menjadi diperkaya. Bila kita kaya akan pengetahuan, berarti cakrawala bertambah luas, tidak sempit.








1 komentar:

kusik kusuma bangsa zari mengatakan...

jadi ingin kuliah k uin juga maz