Kamis, 03 April 2008

Polemik Poligami

Nama : Sadari Ahmad, S.H.I
Mahasiswa : Pasca Sarjan(PPs) UIN-SUKA Sunan kalijaga


POLIGAMI ANTAR
AA GYM VERSUS AYAT-AYAT CINTA

Bangsa Indonesia merupakan masyarakat cultural dan religious dan begitu majemuk. Dengan kemajemukan tersebut tentunya mempunyai banyak masalah yang senantiasa muncul dan tentunya harus dihadapi. Disini dibutuhkan sebuah sikap yang haruslah adil dan bijaksana untuk menyikapinya. Dalam kasus poligami ada dua fenomena yang menarik untuk perlu dicermati dan paling tidak untuk dianalisis dalam sebuah paparan atau argumentasi untuk bisa diambil hikmahnya. Fenomena poligami memang sudah tidak asing lagi akan tetapi masih terus menarik untuk di perdebatkan di kalangan akademis dan kalangan awan sekalipun sebagai sebuah wacana praktis dan teoritis karena eksistensinya masih terus terjadi dan nyata adanya.
Poligami Antar AaGym Versus Ayat-ayat Cinta yang kami maksud adalah ada sebuah kasus poligami yang terjadi di Negara kita antara sebuah realita dan antara sebuah ilustrasi yang ada. Secara jelas dapat kami nyatakan disini : yakni kasus AaGym berpoligami dengan realita nyata dan kasus poligami dalam ilustrasi sebuah novel dan film ayat-ayat cinta. Kasus poligami pertama yang sudah kita dengar adalah tokoh yang kondang yakni Da’i Pondok Pesantren Darul Tauhid AaGym berdampak kebencaian dan banyak yang menolak dengan segala argumentasnya yang didominasi oleh kaum hawa. Pada kasus yang kedua dengan boomingnya Ayat-ayat cinta walaupun diceritakan dalam sebuah novel dari film dan ini bukanlah sebuah realita, cuma ilustrasi seorang pengarang sastra oleh Habiburrahman El-sirozy tertnyata membawa antusias yang luar biasa.
Pertanyaan kami dalam analisis poligami AaGym Versus Ayat-ayat cinta ini, adalah ada apa dengan poligami?, apakah sebuah sikap pilihan yang pura-pura diterima ataukah harus diterima atau mungkin harus ditolak secara tegas sama sekali. Ternyata memang dalam kasus itu sama-sama poligami namun dengan format dan wajah yang berbeda serta kondisi yang lain ternyata masyarakat bersifat elastis. Poligami adalah sebuah wacana tuntunan agama yang menawarkan solusi praktis namun tawarnan ini tidak bisa dilakukan dan diberlakukan secara universal, artinya poligami bisa dilakukan oleh seorang pria ketika ia mengalami suasana yang tidak normal dan bersifat kasuistik, seorang pria haruslah tahu sosio-historis(asbaun nuzul) dari poligami dan haruslah menjalani perjalanan hidupnya pada kasusnya yang mendekati sebuah keadilan dalam mengarungi bahtera keluarga dengan melibatkan keadaan dirinya dengan keadaan sosialnya.
Apakah kasus pertama itu salah dalam berpoligami tentu jawabannya bisa “ya” dan bisa “tidak”, tergantung pada diri mereka yang mengalami. Permasalahan orang benci terhadap kasus poligami karena proses sosialisasi poligaminya terlalu mendadak dan terkesan tertutup serta kurang konsistennya antara doktrin yang di pahami poligameir(pelaku poligami) dengan yang disampaikan (dijalankan). Dan apakah kasus yang kedua juga salah, jawabannya adalah bisa “ya” dan “tidak”, tapi yang jelas kasus yang kedua ini secara esensi betul-betul ingin mendekati sebuah keadilan walaupun sosio-historis(asbanun nuzulnya) berbeda, akan tetapi kasus ini jangan dijadikan dalil bagi kaum pria untuk digunakan secara seronoh untuk berbuat poligami terhadap isterinya Semoga kita tidak terjebak dalam hal ini.amin

Yogyakarta, Jum’at, 28 Maret 2008
Sadari Ahmad

Malu dan Akal

Nama : Sadari Ahmad, S.H.I
Mahasiswa : Pasca Sarjan(PPs) UIN-SUKA Sunan kalijaga

AURAT PERSPEKTIF MALU DAN AKAL

Aurat adalah ukuran moral suatu agama, dimana harus dijaga dan ditentukan dalam batas-batas tertentu. Ketika manusia hadir dibumi ini yakni dalam bentuk Adam dan hawa, karena atas kelalaiannya melanggar larangan Allah Swt, maka pada waktu itulah manusia mulai merasakan dimensi rasa malu, karena ada sesuatu yang berubah pada anggota tubuhnya. Maka dapat dikatakan disini bahwa atas dasar alasan rasa malu itulah sebuah keharusa manusia harus menutupi auratnya dan tidak boleh terbuka.
Sehingga ketika Adam dan Hawa diturunkan kebumi dalam keadaan telanjang, Allah memerintahkan untuk menutup auratnya dengan dedaunan. Nabi kita juga dengan sebuah Haditsnya mengatakan bahwa kita dilarang untuk menampakkan aurat. Rasa malu itu sesuatu hal yang penting dan sebuah keharusan yang harus dimiliki oleh manusia, sehingga tidak disamakan dengan binatang. Kata nabi juga manusia kalau tidak mempunyai rasa malu silahkan untuk berbuat sekehendaknya. Ini mengindikasikan bahwa orang gila tidak mempunyai rasa malu sehingga mereka tidak bisa disalahkan ketika melanggar aturan syar’i dan yang harus diingat adalah rasa malu adalah sebagian dari iman, berarti malu merupakan bagian dari agama(paruhnya agama).
Disamping mempunyai ras malu juga karena manusia dipengaruhi oleh akal, melalui akal inilah manusia mulai bepikir dan mulai merajut dan merancang dengan memanfaatkan keberadaan alam sekitar, bagaimana cara untuk menutupi aurat yang dimilikinya baik diperuntukan untuk laki-laki maupun untuk perpempuan. Aurat laki-laki dan perempuan itu memang berbeda dan menurut kami dari perbedaan itulah sumber eksistensi manusia untuk menumbuhkan rasa kasih sayang, bukan nafsu syetannya atau nafus kebinatangnnya. Perbedaan organ tubuh yang dimiliki lelaki dan perempuan itulah yang saya namakan aurat apapun jenisnya dan harus ditutupi dalam rangka menjaga dari rangsangan negative dan rasa-rasa lain seperti : rasa cemburu, penasaran, anarkhi, kekerasan dll. Disamping ini juga sebuah modal kehormatan dan bentuk penyanjungan untuk manusia atau dengan kata lain adalah nilai diri manusia yang harus dirawat dan dijaga. Karena kalau tidak dijaga dan yang paling minimal adalah ditutupi akan dimungkinkan adanya daya rangsangan dan dorongan emosional dari hawa nafsu itu.
Tentang bagaimana rancang bangun dalam menutupi aurat disesuaikan kepada manusia bagaimana mereka berpikir dengan kondisi lingkungannya masing-masing. Ketika manusia berada pada lingkungan gurun berbeda berbeda dengan lingkungan yang tropis dan berbeda pula pada kondisi yang lain pada tempat-tempat lain. Dan juga ditentukan oleh adat kebiasaan masing-masing wilayah beserta tantangannya dan masyarakat sehingga bersifat kondisional dan tentunya saling menghargai dan menghormati. Sebagai sebuah identitas wilayah dan identitas simbolik agamanya. Makanya jangan heran ketika ada kata-kata anda memasuki wilayah berjilbab dan berkerudung.

Yogyakarta, Jum’at, 28 Maret 2008
Sadari Ahmad

Idiologi Beragama

Nama : Sadari Ahmad, S.H.I
Mahasiswa : Pasca Sarjan(PPs) UIN-SUKA Sunan kalijaga

IDIOLOGI BERAGAMA

Setiap orang selalu mendambakan bahwa mendapatkan pasangan yang tentunya bisa memberikan kebahagiaan pada dirinya. Kebahagiaan batin bisa berbeda dalam setiap individu ketika mengalami gejolak cinta terhadap pasangannya.
Pasangan yang bercinta akan mengalami rasa kasih dan sayang yang tulus. Maka dari itu rasa kasih dan sayang yang tulus inilah yang bisa mengalahkan segala idiologi yang selama ini mereka miliki. Setiap orang tidak bisa memberi jaminan untuk menjalankan kehidupan keluarga dengan sebuah kebahagiaan. Agama Cuma memberikan tuntunan dan itu merupakan sebuah pilihan yang tergantung kita menjalankannya. Namun demikian Agama merupakan sebuah keyakinan dari Tuhan yang tidak mungkin lepas dalam kehidupan manusia.
Ada sebuah pertanyaan apakah eksisitensi sebuah keluarga harus dengan sebuah idiologi yang sama. Ini harus menjadi kajian yang serius, karena secara realita itu juga memang benar bahwa Agama implikasinya adalah pada ritual dan perilaku keberagamaannya. Apabila dalam keluarga mempunyai ritual dan perilaku keberagamaan yang sama, akan memperkuat eksistensi agamanya dan secara otomatis membawa dampak eksistensi terhadap ikatan dalam keluarganya itu.
Tapi mari kita mengkajinya pada peristiwa sebaliknya apabila dalam jalinan keluarga yang mempunyai idiologi yang berbeda ternyata juga dalam ikatan keluarganya bisa eksis. Menurut sepengamatan kami dalam keluarga seperti ini, memang harus ada jurus atau taktik lain yang harus dimiliki dalam keluarga tersebut, yakni hormat-menghormati dalam setiap perbedaan. Disini akan terjalin dua buah etika-moral yang disatukan dan saling bersinggunagn serta saling kait-mengait untuk terus memperkuat jalinan kasih dalam keluarga tersebut.
Ada juga argumen lain bahwa memang terkadang kita sebagai manusia yang beragama salah dan terpengaruh dalam pema’naan doktrin dan pema’an luar yang selalu kita pahami bahwa dengan ikatan keluarga yang berbeda idiologi berarti mempersulit diri sendiri dan dalam dimensi akhirat seakan-akan tidak mempunyai nilai sama sekali.

Yogyakarta, Jum’at, 28 Maret 2008
Sadari Ahmad