Senin, 07 Januari 2008

Studi Hadis Menurut Fazlur Rahman



Sadari Ahmad,S.H.I
Mahasiswa Pasca Sarjana





Studi Hadis Menurut Fazlur Rahman
(Dosen pengampuh : Prof.Dr.H.M.Amin Abdullah)









Abstraksi


Pada mulanya, Fazlur Rahman, seorang intelektual Muslim neo-modernis, merasakan kegelisahan akademik, yang juga dirasakan oleh banyak kalangan Muslim, yaitu tertutupnya rapat-rapat pintu ijtihad, sehingga yang terjadi adalah stagnasi intelektual yang luar biasa di kalangan umat Islam.

Penutupan pintu ijtihad ini, secara logis mengarahkan kepada kebutuhan terhadap taqlid, suatu istilah yang pada umumnya diartikan sebagai penerimaan bi la kaifa(menerima dengan pasrah) terhadap doktrin madzab-madzab dan otoritas-ororitas yang telah mapan. Kegelisahan Rahman berikutnya adanya fenomena di kalangan pembaharu Islam yang dalam melakukan pembaharu umumnya metode yang digunakan dalam menangani isu-isu legal masih bertumpu pada pendekatan yang ad hoc dan terpilah-pilah (fragmented) dengan mengeksploitasi prinsip takhayyur serta talfiq. Penerapan metode ini tentu saja menghasilkan pranata-pranata hukum yang serampangan, arbriter dan self contra-dictory.

Studi Fazlur Rahman terhadap hadis memiliki arti yang sangat penting terhadap pembaharuan pemikiran Islam, khususnya sumbangannya dalam bidang metode dan pendekatan. Pendekatan historis yang ia tawarkan adalah kontribusi positif terhadap studi hadis yang selama ini disibukkan oleh studi sanad, yang menutrut ia, walau memberi informasi biografis yang kaya, tetapi tidak dapat dijadikan argumentasi positif yang final. Umat Islam dewasa ini, menurut Rahman, membutuhkan upaya yang metodologis untuk mencairkan kembali hadis-hadis yang ada ke dalam bentuk sunnah yang hidup (living sunnah) melalui studi historis terhadapnya. Fazlur Rahman telah menelaah karya-karya intelektual sebelunya yang terkait dengan studi hadis, antara lain Ignaz Goldziher, Margoliouth, H. Lammens, dan Joseph Schacht.

Ruang lingkup studi Rahman adalah hadis yang dimulai kajiannya dari konsep-konsep sunnah pada awal sejarah Islam sampai formalisasi hadis, serta menawarkan sebuah pendekatan historis dalam studi tersebut. Maka kata kuncinya adalah sunnah yang hidup (living sunnah), idea moral ( ratio legis), dan legal spesifik. Studi hadis Fazlur Rahman memberikan beberapa kontribusi yaitu pengetahuan baru tentang metode kritik terhadap hadis, memberi jalan alternatif atas kebekuan metodologis pemikiran Islam, khususnya pemikiran hukum Islam yang selama ini mensandarkan diri pada bangunan metodologis ulama madzab yang beraroma formalistik, skripturalistik dan atomistik, dan memberi sumbangan signifikan untuk merekonstruksi metode-metode istinbath sehingga lebih feasible terhadap tantang jaman.

Fazlur Rahman mengawali penulisannya dengan memaparkan secara singkat kegelisahan intelektualnya tentang kondisi real umat Islam yang terbelenggu dengan tertutupnya pintu ijtihad.. Selanjutnya Rahman menguraikan evolusi historis hadis dari perkembangan awal hadis di masa Nabi.Pada akhirnya Rahman menawarkan metodologi dalam studi hadis untuk mengembalikan kembali hadis menjadi sunnah yang hidup (living sunnah) melalui pendekatan historis yang dipadu dengan pendekatan sosiologis.



A. Pendahuluan
Kegelisahan akademik yang dirasakan oleh Fazlur Rahman ialah bahwasannya ia menyayangkan pandangan para ulama tradisionalis yang menempatkan hadist sebagai doktrin yang berharga mati. Pandangan yang tidak saja menafikan gerak dinamis perkembangannya, tetapi juga menyebabkan pemikiran yang parah di tubuh umat Islam. Fazlur Rahman juga menyayangkan sarjana Barat yang mengatakan bahwa hadits tak dapat dipandang sebagai sumber kedua Islam, karena hadits baru ditemukan belakangan.
Telaah Fazlur Rahman terhadap hadits mempunyai arti yang sangat penting sebab Islam dewasa ini sebenarnya memerlukan metode untuk menafsirkan hadits supaya sesuai dengan perkembangan zaman.Terkait dengan studi hadits, Fazlur Rahman telah menelaah karya-karya seperti Ignas Galdzier, Snouck Hurgronye, Margoliouth dan Lammens dan dan Joseph Schasht.
Ruang lingkup kajian Fazlur Rahman adalah evaluasi konsep hadits dan sunnah berdasarkan tinjauan histories. Sedangkan istilah kunci dari penelitiannya antara lain : sunnah Nabi, gerakan hadits, dan ijtihad. Fazlur Rahman terhadap hadits memberikan beberapa kontribusi :
1. pertama, memberikan sumbangan metodologis terhadap kajian bermanfaat bagi pengembangan studi krisis di masa-masa yang akan dating.
2. Kedua, mendorong penafsiran yang lebih kreatif terhadap hadits, sebagai bagian dari ajaran Islam, sesuai dengan lingkungan sosial-historis yang bermacam-macam.
Rahman memulai tulisannya dengan menjelaskan beberapa konsep sunnah, ijtihad dan ijma' pada awal sejarah Islam. Kemudian evaluasi hadits dan masa Nabi hingga la menawarkan suatu studi hadits,

B. Kegelisahan Akademik

Bermula dari kegelisahan paling mendasar dari seorang intelektual neo-modernis, Fazlur Rahman, yang pasti juga dirasakan oleh banyak kalangan Muslim, yaitu kondisi di mana kaum Muslim telah menutup rapat-rapat pintu ijtihad, sehingga yang terjadi adalah stagnasi intelektual yang luar biasa. Rahman merasakan situasi ini sangat tidak kondosif untuk mengetengahkan Islam sebagai agama alternatif di tengah gelombang perubahan zaman yang kian dinamis.Tertutupnya pintu ijtihad telah mematikan kreatifitas intelektual umat yang pada awal-awal sejarah umat Islam tumbuh begitu luar biasa. Pada akhirnya Islam menjadi seperangkat doktrin yang beku dan tentu sulit untuk tampil memberi jawaban-jawaban atas problem keummatan di tengah gelombang modernitas.
Penutupan pintu ijtihad ini, secara logis mengarahkan kepada kebutuhan terhadap taqlid, suatu istilah yang pada umumnya diartikan sebagai penerimaan bi la kaifa terhjadap doktrin madzab-madzab dan otoritas-ororitas yang telah mapan. Dalam memberlakukan sumber ajaran Islam – al-Qur’an dan Sunnah nabi – umat Islam mengembangkan suatu sikap yang kaku lewat pendekatan-pendekatan ahistoris, literalistis dan atomistis.Situasi seperti itu segera memancing reaksi dari para pembaharu Muslim untuk melakukan langkah-langkah “penyelamatan” terhadap ajaran Islam yang kian keropos oleh sejarah. Akan tetapi – sebagaimana disaksikan oleh Fazlur Rahman -, mereka dalam melakukan pembaharuan umumnya metode yang digunakan dalam menangani isu-isu legal masih bertumpu pada pendekatan yang ad hoc dan terpilah-pilah (fragmented) dengan mengeksploitasi prinsip takhayyur serta talfiq.
Penerapan metode ini tentu saja menghasilkan pranata-pranata hukum yang serampangan, arbriter dan self contra-dictory. Memungut fragmen-fragmen opini masa lampau yang terisolasi – tanpa mempertimbangkan latar kesejarahannya – kemudian menyusunnya ke dalam sejenis mosaik yang tidak semena-mena dengan menyelundupkan di bawah permukaannya sebagai struktur ide yang dipinjam dari Barat – tanpa mempertimbangkan kontradiksi atau inkonsistensi – jelas merupakan pembaharuan yang artifisial dan tidak realistis. Itulah sebabnya, seorang Josept Schacht menegaskan : “Yurispridensi dan legislasi Islam kaum modernis, agar dapat bersifat logis dan permanen, tengah membutuhkan suatu basis teoritis yang lebih tegar dan konsisten”.
[1] Dalam iklim pembaharuan yang lesu semacam ini munculah Fazlur Rahman dengan menawarkan seperangkat metodologi yang sitematis dan komprehensif, khususnya yang terkait dengan penggalian terhadap sumber-sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi. Tawaran Rahman dalam kajian hadis dengan menekankan pada pendekatan historis telah memberi angin segar terhadap arah pembaharuan ajaran Islam yang lebih paradigmatis.
C. Pentingnya Topik Penelitian

Rahman memandang bahwa umat Islam sekarang ini memerlukan landasan metodologis untuk menafsirkan dan menempatkan hadits secara kontekstual, sehingga hadits tidak lagi dipandang sebagai suatu ajaran yang beku. Suatu pandangan yang tidak saja menafikan gerak dinamis perkembangannya tetapi juga menyebabkan degradasi pemikiran di tubuh umat.

D. Hasil Penelitian Terdahulu

Studi Fazlur Rahman tentang hadis merupakan respon terhadap kontroversi yang berkepanjangan mengenai sunnah dan hadis di Pakistan, dan terhadap situasi kesarjanaan Barat. Di bawah ini adalah gambaran secara singkat situasi kesarjanaan Barat terkait dengan konsep sunnah dan hadis.Ignaz Goldziher dapat dikatakan sebagai sarjana Barat pertama yang melakukan studi kritis hadis. Dalam karya munomentalnya, Muhammadanische Studien (vol. 2, 1890), ia mengemukakan bahwa fenomena hadis berasal dari zaman Islam yang paling awal. Akan tetapi karena kandungan hadis yang terus membengkak pada masa-masa selanjutnya, dan karena dalamsetiap generasi Muslim materi hadis berjalan pararel dengan doktrin-doktrin aliran fiqih dan teologi yang seringkali saling bertabrakan, maka Goldziher menilai sangat sulit menemukan hadis-hadis yang orisinil berasal dari Nabi.
[2]
Margoliouth dalam Early Development of Islam, mengemukakan bahwa Nabi Muhammad sama sekali tidak meninggalkan sunnah ataupun hadis, dan bahwa sunnnah yang dipraktekkan kaum Muslim awal sama sekali bukan merupakan sunnah Nabi, melainkan kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab pra-Islam yang telah dimodifikasi al-Qur’an. Margoliuoth juka mengemukakan bahwa dalam rangka memberikan otoritas dan normativitas terhadap kebiasaan-kebiasaan tersebut, kaum Muslim pada abad kedua Hijriyah telah mengembangkan kosep sunnah Nabi dan menciptakan mekanisme hadis untuk merealisasikan konsep tersebut.
[3]
H. Lammens, dalam bukunya Islam ; Beliefs and Institutions, memperlihatkan pandangan yang sama dengan Margoliouth dan menyatakan dengan singkat bahwa praktek sunnah pasti sudah mendahului perumusannya dalam hadis. Joseph Schacht dalam bukunya The Origin of Muhammadan Jurisprudence, menyatakan – sebagaimana Margoliuth - bahwa konsep sunnah Nabi merupakan kreasi kaum Muslim belakangan. Menurutnya sunnah mencerminkan kebiasan tradisional masyarakat yang membentuk “tradisi yang hidup” dan “tradisi yang hidup” itu adanya mendahului hadis (tradisi Nabi), Ketika hadis pertama kali beredar – sekitar menjelang abad kedua hijriyah – ia tidak dirujukkan kepada Nabi, tetapi pertama-tama kepada tabi’in, baru pada tahap berikutnya, dirujukkan kepada sahabat dan Nabi.
[4]
Dalam kajiannya mengenai sunnah dan hadis, Rahman memang mengkonfirmasi temuan-temuan atau teori-teori para sarjana Barat tentang hal itu, tetapi dia tidak sepakat dengan teori mereka bahwa konsep sunnah merupakan kreasi kaum Muslim yang belakangan. Bagi Rahman, konsep Sunnah Nabi merupakan “konsep yang shahih dan operatif sejak awal Islam dan tetap demikian sepanjang masa”.
[5] Dan dari sinilah posisi unik Rahman di antara pemikir-pemikir Barat yang telah terlebih dahulu melakukan studi terhadap hadis. Rahman tidak apriori terhadap eksistensi hadis dalam hasanah pemikiran Islam, tetapi juga tidak menerima begitu saja teori resmi dan baku tentang hadis yang terwadahi dalam ulumul hadis versi ulama-ulama hadis. Dan yang terpenting dalam studi Rahman terhadap hadis adalah, bagaimana ia menawarkan pandekatan dan metode baru dalam memahami dan mengoperasikan hadis dalam khasanah intelektual Muslim dewasa ini.

E. Teori dan Pendekatan

Dalam karyanya Fazlur Rahman menggunakan metode penelitian histories, yaitu memahami pembentukan serta evaluasi konsep hadits dalam konteks social historisnya. Sehingga Rahman memulai usahanya dengan pembahasan mengenai bebarapa konsep yang berkaitan dengan hadits, seperti, sunnah Nabi, sunnah yang hidup, ijtihad dan ijma'.
Sunnah menurut Rahman adalah sebuah konsep perilaku, baik yang diterapkan kepada aksi-aksi fisik maupun kepada aksi-aksi mental. Dan karena sesungguhnya tingkah laku disini adalah tingkah laku dari pelaku-pelaku yang sadar, pelaku-pelaku yang dapat memiliki aksi-aksi mereka maka sebuah tidak hanya merupakan sebuah hukum tingkah laku (seperti hukum-hukum dari alam) tetapi juga merupakan sebuah hukum mental yang bersifat normative : keharusan moral adalah sebuah unsur yang tidak dapat dipindahkan dari pengertian konsep sunnah. Bahwa pada dasarnya sunnah berarti : tingkah laku yang merupakan teladan.
Dari konsep tingkah laku normatif atau teladan tersebut lahirlah konsep tingkah laku standar atau benar sebagai sebuah pelengkap yang perlu. Jika saya memandang bahwa tingkah laku seseorang patut dijadikan teladan dan jika saya mengikuti teladan tersebut, maka tingkah laku akan mendekati standar . Jadi ke dalam pengertian yang melengkapi perkataan "sunnah" termasuk unsure "keluruan" atau kebenaran. Pengertian seperti inilah yang terkandung di dalam ucapan "saran dan tariq" atau "jalan yang tidak menyimpang.
Secara garis besarnya sunnah Nabi lebih tepat jika dikatakan sebagai konsep pengayoman bahwa ia mempunyai sebuah kandungan khususnya yang bersifat mutlak. Hal secara teoritis dapat kita simpulkan langsung dari kenyataan bahwa sunnah adalah sebuah terma perilaku(behavioral) karena didalamnya prakteknya tidak ada dua buah kasus yang benar-benar sama latar belakang situasionalnya-secara moral, psikologis dan material – maka sunnah tersebut harus dapat di interprestasikan dan diadaptasikan.
Sunnah Nabi lebih merupakan petunjuk arah dari pada serangkaian peraturan-peraturan yang telah ditetapkan, bahwa pengertian "sunnah ideal" yang seperti inilah yang dijadikan landasan pemikiran kaum muslimin dimasa itu, dan bahwa ijtihad dan ijma' adalah pelengkap-pelengkapnya yang perlu, ,sehingga sunnah itu semakin dapat disempurnakan.
“sunnah" bermula dari "sunnah ideal" Nabi dan secara progresif telah diinterpretasikan oleh Ra'y (pernikiran bebas secara individual) dan Qiyas (pemikiran sistematis). Sedang ijma' adalah intetpretasi sunnah atau sunnah dengan pengertian sebagai praktek yang telah disepakati secara bersama begitu ia secara perlahan-lahan diterima oleh umat.
Oleh karena itu, diantara al-Qur'an dan sunnah ideal disatu pihak dengan ijma’ atau sunnah dalam pengertian sebagai praktek yang disepakati bersama pihak lain, tidak terdapat aktifitas qiyas atau ijtihad. Jadi sunnah-ijtihad-ijma' merupakan hubungan organis yang menyempurnakan sunnah Nabi yang sedikit dan tidak spesifik tersebut menjadi aplikatif dalam kehidupan keseharian kaum muslimin.
Sunnah Nabi ini bisa berkembang kreatif menjadi "sunnah yang hidup" melalui ijtihad dan ijma' yang dilakukan kaum muslimin awal. Hubungan ini terganggu dengan adanya gerakan hadist yang muncul sangat pesat pada abad kedua dan telah terasa dampaknya pada abad ketiga hijriyah. Gerakan ini membawakan pesan-pesan keseragaman tentang wewenang Nabi. Sunnah yang semula interpretatif berubah menjadi suatu petunjuk yang tegas, harus ditafsirkan secara literal, dan hanya dapat dilakukan dengan menyiarkan hadist. Gerakan hadits memperoleh perkembangan pesat, meskipun kebanyakan hadits dinyatakan tidak bersumber dari Nabi.
Gerakan ini dipelopori oleh Al-Syafi'i yang menjadikan hadist sebagai "sunnah yang hidup". Peranan berikutnya diberikan kepada sunnah para sahabat, terutama empat khalifah yang pertama. Peranan ketiga ditempati ijma’ dan terakhir ijtihad. Menurut Rahman, proses ini telah merusak hubungan organis antara sunnah-ijtihad-ijma' yang mampu menciptakan dialektika yang hidup dengan kenyataan aktual di masyarakat. Ijma’ sebagai produk dari ijtihad tidak lagi merupakan proses yang menghadap kedepan, melainkan menghadap kemasa lampau.
Penelitian Rahman ini dimaksudkan untuk mengembalikan hadist yang hidup" sehingga norma-normanya dapat daterapkan dalam konteks masa kini. Rahman tidak mengatakan bahwa secara garis besarnya hadits benar-benar historis. Menurutnya kebanyakan hadist tidak bersumber dari Nabi, namun sudah tentu semangatnya berasal dari Nabi, hadits itu adalah cerminan dari “ sunnah yang hidup”, sedangkan “ sunnah yang hidup “ merupakan penafsiran terhadap sunnah Nabi.

F. Ruang Lingkup Dan Istilah Kunci Penelitian

Ruang lingkup penelitian Fazlur Rahman ini adalah evaluasi konsep hadits berdasarkan tinjauan historis. Sedangkan istilah kunci dari penelitian ini adalah formulasi, gerakan hadist, sunnah dan ijtihad.





G. Kontribusi Terhadap Ilmu Pengetahuan

Studi yang dilakukan Fazlur Rahman ini berusaha mengoreksi dan menyempurnakan penelitian-penelitian terdahulu, baik yang dilakukan oleh sarjana muslim maupun sarjana Barat. Sumbangan Fazlur Rahman yang terpenting dari penelitian hadist ini adalah : mendorong penafsiran yang lebih kreatif terhadap hadist, sebagai bagian dari ajaran Islam, sesuai dengan lingkungan sosial historis yang beraneka ragam.


H. Sistematika Penulisan

Fazlur Rahman memulai tulisannya dengan menjelaskan konsep sunnah, ijtihad, dan ijma' pada awal sejarah serta mengoreksi beberapa pandangan sarjana Barat mengenai sunnah. Selanjutnya menguraikan tentang evaluasi hadits dari perkembangan awal hadist dimasa Nabi dan akhirnya Rahman menjelaskan bagaimana sunnah Nabi dapat di manifestasikan dalam bentuk yang kreatif, termasuk keharusan menafsirkan sunnah tersebut dalam kehidupan kekinian.

I. Kesimpulan

Apakah benar hadis sudah ditulis sejak masa Rasulullah s.a.w.? Fazlur Rahman berpendapat hadis belum ada pada periode Rasulullah. Yang ada kala itu adalah sunnah – yaitu praktek keagamaan yang dilakukan secara tradisi karena keteladanan Nabi-, yang setelah Rasulullah wafat, berkembanglah penafsiran individu terhadap teladan Rasul itu. Boleh jadi sebagian sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tetapi sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Kemudian sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang ini, diekspresikan dalam hadis. Hadis adalah verbalisasi sunnah. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah ke dalam hadis ini telah memasung proses kreatif sunnah dan menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku.
Perbedaan hadis Bersamaan dengan perbedaan lahirlah ra’yu yang menonjol dalam proses interpretasi keagamaan. Karena sejumlah hadis hilang, orang-orang mencari petunjuk dari ra’yu-nya. Dalam pasar ra’yu yang bebas (dalam kenyatannya, pasar gagasan umumnya tidak bebas) sebagian ra’yu menjadi dominan Ra’yu dominan inilah, menurut Fazlur Rahman, kemudian menjadi sunnah. Sebuah ra’yu menjadi dominan boleh jadi karena proses kreatif dan adanya demokrasi, boleh jadi juga karena ada intervensi dari penguasa. Dalam semua kejadian itu, dominasi ra’yu sangat ditopang oleh hilangnya catatan-catatan hadis. Untuk memperparah keadaan, tidak ada rujukan tertulis menyebabkan banyak orang secara bebas membuat hadis untuk kepentingan politis, ekonomis dan sosiologisnya. Kemudian ditambah panjangnya rangkaian periwayatan hadis telah memungkinkan orang-orang menambahkan kesimpulan dan pendapatnya pada hadis-hadis. Tidak mengherankan bila kemudian Fazlur Rahman sampai pada kesimpulan, hadis adalah produk pemikiran kaum muslim awal untuk memformulasikan sunnah. Sunnah pada gilirannya kelihatan sebagai produk para ahli hukum Islam, yang kemudian dinisbatkan kepada Nabi. Secara kronologis dapat dijelaskan sebagai berikut : Mula-mula muncul hadis, kemudian ada upaya dua khalifah untuk menghambat kemunculannya, terutama, dalam bentuk tertulis. Timbullah sunnah, yang lebih merujuk kepada tema perilaku yang hidup di tengah-tengah masyarakat, daripada teks. Ketika hadis-hadis dihidupkan kembali, melalui kegiatan pengumpul hadis, kesulitan menguji otentisitas dan validitas hadis menjadi sangat besar.















BIBLIOGRAFI


Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Karachi : Central Institute of
Islamic Research, 1965

___________, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung ; Pustaka, 1984
___________, Islam and Modernity; Transformation of an Intellectual
Tradition, Chicago ; The University of Chicago Press, 1982

Ignaz Golziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Stern, London : Goerge
Allen & Unwin, 1971

Josept Schacht, The Origin of Muhammadan Jurisprudence, London : Oxfort at
The Clarendon Press, 1971, h. 2-58, 80-189

Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas : Studi Atas pemikiran
Hukum Fazlur Rahman, Bandung : Mizan, 1994








[1] Lihat Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas : Studi Atas pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung : Mizan, 1994, h. 39-40

[2] Ignaz Golziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Stern, London : Goerge Allen & Unwin, 1971, h. 38

[3] Lihat Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung ; Pustaka, 1984, h. 45

[4] Josept Schacht, The Origin of Muhammadan Jurisprudence, London : Oxfort at The Clarendon Press, 1971, h. -58, 80-189

[5] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Karachi : Central Institute of Islamic Research, 1965, h. 5-6

TEORI DASAR PENDEKATAN DALAM PENGKAJIAN ISLAM



Sadari Ahma, S.H.I



Mahasiswa Pasca Sarjana



TEORI DASAR PENDEKATAN DALAM PENGKAJIAN ISLAM

(Telaah karya : Charles, J Adam, “ Islamic Religion Tradition “ dalam Leonard Binder (Ed), The Study Of The Middle East : Research And Scholarship In The Humanities And The Social Sciences, Canada : john Wiley and Sons, Inc, 1976)


Dosen pengampuh : Prof.Dr.H.M.Amin Abdullah


Pendahuluan(Poin 1)

Ajaran-ajaran Islam terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits, namun selama ini beberapa kalangan masyarakat islam masih memandang islam secara sempit, yakni sebatas pada hal-hal yang bersifat normatif, formalistis dan simbolis, perlu adanya upaya sadar bagi kita umat islam untuk bisa memperbaharui cara pandang yang sempit tersebut, sehingga Islam memiliki dimensi kajian dan pengalaman yang lebih luas lagi.
Untuk menjadikan dimensi islam yang lebih luas dan utuh inilah maka Charles J Adams dalam bukunya The Study Of The Middle East menjelaskan tentang apa itu islam dan agama agar dapat didefinisikan dengan tepat sesuai dengan konteksnya.
Kemudian Charles J Adams mengutarakan beberapa pendekatan dalam studi islam diantaranya pendekatan yang dapat ditawarkan yakni pendekatan normatif-keagamaan, pendekatan ilmu-sosial, pendekatan psikologis-antropologis dan pendekatan fenomenologis. Pendekatan normatif atau agama dibagi menjadi tiga bagain yaitu : pendekatan misianaris tradisional, pendekatan apalogetik dan pendekatan irenik.

Problem(kegelisahan akademik)(poin2)

Terdapat kesulitan yang sangat esensial dalam melakukan kajian terhadap islam menurut Charles J Adams. Hal ini terkait adanya kesulitan untuk membuat batasan atas dua unsur, yaitu; islam dan tradisi keagamaan. Problem terpenting adalah belum adanya definisi yang tepat dan universal terhadap kedua terminologi tersebut diatas.
Adams kemudian mencoba menjawab Kesulitan ini untuk melihat islam dengan berbagai metode dan pendekatan yang lebih relevan dan universal seperti ; pendekatan Normatif, pendekatan Fillologi dan historis, pendekatan Ilmu Sosial, dan pendekatan Fenomenologi dalam memetakan antara islam dan tradisi keagamaan. Dengan berbagai alternatif pendekatan yang digunakan oleh Adams, ia ingin menunjukkan walau bagaimanapun bahwa Islam memiliki aspek historis yang termanifestasikan dari pengalaman dan tindakan umatnya dalam menunjukan keimannya.

Kerangka teori/konseptual(the way to think)(poin3)

Beberapa unsur kerangka teori studi Islam yang dibahas dalam obyek. Sebagaimana diketahui, dalam kaitannya dengan kehidupan kita, agama mempunyai dimensi (sisi) lebih dari satu. Seperti halnya ketika melihat suatu objek, maka kita tentu tidak bisa melihat dimensi dibalik obyek, tetapi mungkin orang lain dapat melihatnya, karena ia berada diarah lain yang dengan kita.
Dengan demikian dimensi obyek tersebut bagi yang memandangnya tidaklah satu, maka, agama, dalam hubungannya dengan studi juga demikian.
[1] Dalam buku ini yang menjadi obyek studi adalah Islam liilihat dari beberapa dimensi.


Metodologi Pendekatan(poin 4)

Ada beberapa ptndekatan dalam buku ini antara lain:
a. Pendekatan Normatif atau Agama
Pendekatan ini dibagi menjadi tiga bagian
1) Pendekatan Misionaris Tradisional
Pendekatan ini dimulai pada abad ke sembilan belas, pada waktu itu bersamaan dengan kegiataa misionaris Kristen yang dilakukan oleh Geraja dan Serte tertentu. Pengkajian Islam oleh misionaris Kristen tidak hanya dimaksudkan untuk tujuan akademis selain itu juga untuk kepentingan agama Kristen dengan tujuan untuk merubah agama orang Islam menjadi Kristen.
2) Pendekatan Apalogetik
Apalogetik dapat dipahami sebagai respon mentalitas muslim terhadap situasi orang Islam di jaman modern. Apalogetik telah menjadi salah satu alat utama oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya untuk jaminan kembali dan menegaskan kemampuan Islam untuk melaksanakan islam ke dalam era baru yang cerah. Pendekatan Apalogetik ini muncul sekitar abad ke dua puuh. Sebagaimana dikatakan di atas, pendekatan Apalogetik ini sebagai respon terhadap mentalitas muslim di abad modern dan untuk membentengi diri dari gempuran ide-ide barat. Pendekatan ini berkaitan masalah rasionalitas. Pendekatan ini berusaha membangkitkan kejayaan maya lalu.

3) Pendekatan Irenik
Pendekatan ini muncul sejak perang dunia 2. Tujuannya adalah mengajak dialog antara Islam dan Kristen. Di samping itu pendekatan ini telah berhasil mengatasi sikap orang barat yang curiga, antagonistik dan menuduh, khususnya Kristen Barat terhadap tradisi Islam. Yang berjasa dalam hal ini adalah Cragg, ia berusaha menampakkan nilai-nilai yang baik dalam Islam dan membuka mata orang Kristen, ia menyatakan bahwa Islam dan Kristen memiliki kesamaan
W.C. Smith juga menggunakan pendekatan ini, la menganjurkan untuk mencoba memahami kepercayaan orang lain dan bukan untuk menganti kepercayaan itu.
b. Pendekatan Filalogi dan Sejarah
Metode sejarah filalogi memiliki relevansi yang sangat penting dengan Studi Islam. Filalogilah yang memberikan banyak bahan untuk memahami dan menganalisis dan tanpanya kemajuan dalam memahami Islam tidak mungkin. Sebab filalogi dapat digunakan untuk memahami suatu naskah,
[2] untuk memahami pikiran atau gagasan.[3] Adams menganggap penting pendekatan filalogi ini sebab masih banyak naskah-naskah Islam yang belum diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Eropa atau belum dikaji oleh negara­-negara Islam. Ia berpendapat bahwa dengan cara pendekatan filalogi akan dapat ketahui maksud dari naskah. Adams juga menawarkan pendekatan sintesa antara filalogi dan sejarah.

c. Pendekatan Ilmu Sosial
Ilmu sosial dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal ini dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dipahami secara imporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosial. Pentingnya pendekatan sosial dalam agama sebagaimana disebutkan di atas, dapat dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.
[4]
Maksud pendekatan ilmu sosial ini adalah implementasi ajaran Islam oleh manusia dalam kehidupannya, pendekatan ini mencoba memahami keagamaan seseorang pada suatu masyarakat. Fenomena-fenomena keislaman yang bersifat lahir diteliti dengan menggunakan ilmu sosial seperti sosialogi, antrapologi dan lain sebagainya. Pendekatan sosial ini seperti apa perilaku keagamaan seseorang di dalam masyarakat apakah perilakunya singkron dengan ajaran agamanya aiau tidak. Pendekatan ilmu sosial ini digunakan untuk memahami keberagamaan seseorang dalam suatu masyarakat.
[5]


d. Pendekatan Fenomenalogi
Fenomenalogi agama sulit didefinisikan. Narnun demikian, kami (Adams) dapat membedakan dua masalah penting yang nampaknya memudahkan memahami fenomenalogi adalah metode memahami agama orang lain dengan berusaha untuk masuk komunitas agama dengar menanggalkan artibut yang dimilikinya. Kelebihannya bisa mendalami agama orang lain sedang kekurangannya kalau imannya tidak kuat akan tergoyahkan. Kedua, fenomenalogi di pandang sebagai suatu pendekatan yang mencoba mencari fenomena-fenomena agama dengan melintasi batas-batas komunitas, agama dan budaya.

Metode(the way to Obtain Data)(poin 5)

Metode Penulisan, menggunakan jenis penelitian pustaka (library research) dan bersifat deskriptif.

Konsep Dasar(Key Concept)(poin 6)

Kajian Charles. J. Adam ruang lingkupnya adalah mengenai beberapa pendekatan yang digunakan dalam kajian Islam dan objek kajian apa saja yang layak diteliti. Kata kunci dari bahasan ini antara lain Islam, tradition, approach, experience, expression.


Kontribusi (Sumbangan) Dalam Ilmu Pengetahuan dan ilmu-ilmu keislaman(poin 7)

Penelitian yang dilakukan aleh Charles. J. Adams memberikan kontribusi yang cukup signifikan nantara lain:
1) Pertama, memberi gambaran tentang pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan dalam melakukan penelitian agama ( baca: Islam).
2) Kedua, memberikan alternatif pendekatan, yakni pendekatan historis dalam melakukan penelitian yang terkait dengan kaijain Islam. Ketiga, memberi pemetaan wilayah-wilayah penelitian dalam mkajian Islam.
Sistematika(poin 8)

Charles J Adams yang menyusun buku ini dimulai dengan latar belakang masalah setelah itu ia mengemukakan kegelisahan akademik dimana kata Islam menurut beliau tidak mudah untuk memberikan batasannya. Sebab Islam tidak hanya mengandung monodimensi (satu dimensi) tapi Islam mengandung multi dimensi (banyak dimensi) untuk mendapatkan pengertian Islam yang utuh, maka islam harus dikaji dari berbagai dimensi. Jika mengkaji Islam dari satu dimensi maka pengertian Islam tidak akan utuh.
Selanjutnya dibahas tentang metodologi penelitian. Unsur-­unsur yang ada dalam metodelogi penelitian tersebut adalah obyek, pendekatan dan metode. Yang menjadi obyek dalam Studi Islam adalah Islam itu sendiri. Pendekatannya ada empat macam yaitu pendekatan nonrmatif atau agama, pendekatan filologi dan sejarah, pendekatan ilmu social. Sedangkan metodenya ada beberapa metode, kemudian sistematika pembahasannya dilanjutkan kepada sumbangan terhadap ilmu pengetahuan dan urgensi penelitian.
Dengan kata lain Adams merinci penelitian ini menjadi empat unsur yakni :
1. Charles J Adams menjelaskan bahwa terdapat kesulitan yang sangat esesnsial dalam melakukan kajian terhadap Islam, terutama yang berkaiatan dengan pemahaman antara Islam dan tardisi keagamaan.
2. Charles J. Adams dalam tulisannya Islamic Religiuos Tradition
[6] mengemukakan bahwa dalam perkembangan studi ketimuran, para orientalis klasik telah mengkaji Islam dengan menggunakan pendekatan normatif yang dituangkan ke dala.m tiga bentuk, yaitu traditional missionary approach, apologetic approach,dan irenic approach. Ketiga bentuk pendekatan ini pada intinya masih menaruh kesan ketidakrelaan akan keberadaan agama lain. Mereka masih berpandangan bahwa agamanyalah yang paling benar walaupun agama lain tetap diapresiasi (inklusif).
3. Charles J Adams mengurai berbagai pendekatan dalam kajian Islam, kemudian memetakan wilayah-wilayah kajian dalam Islam atau dengan kata lain Pokok permasalahan yang saling berhubungan dengan kajian Islam, sebagai agama mungkin terpecah kedalam cabang berikut ini :
a) Masa sebelum Islam Arab
· Kajian Islam Masih dipengaruhi budaya Timur Tengah kuno
· Hubungan kontinuitas dari islam dan agama tradisi ketimuran mempengaruhi perkembangan islam.
· Pengetahuan tentang agama dan kehidupan social zaman Pre-Islamic Arabia(Masa sebelum Islam Arab) tidak berkembang karena pemerintah Arab pada waktu itu tidak memperbolehkan adanya pendatang yang mengadakan aktivita pekerjaan atau sekedar bepergian dengan gratis.
b) Studi Kehidupan Nabi
· Nabi Muhammad berperan besar dlam penyebaran islam, pengembangan masyarakat dll.
· Peran Muhammad lebih besar dari pada fakta biograpi/sejarahnya dan penghubungannya dengan dirinya.
c) Studi Al-Qur’an
· al-Qur’an digunakan untuk menjelaskan, memaparkan, menguraikan segala sesuatu dengan jelas
d) Hadits Nabi
· Kebiasaan rasul yakni hal-hal yang sering dilakukan rasul
· Masih banyak hadis yang diragukan kesahihnnya
e) Kalam
· Cakupan kalam atau teologi Muslim mempelajari hal komplek
· Banyak dipengaruhi bidang politi
f) Hukum Islam
g) Falsafah
h) Tasawuf
i) Aliran-aliran dalam Islam, terutama Syi’a
j) Masalah-masalah ibadah/ritual
k) Agama-agama terkenal



Penutup

Perkembangan pembidangan study islam dan pendekatannya sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, adanya penekanan terhadap bidang dan pendekatan tertentu dimaksudkan, agar mampu memahami ajaran islam lebih lengkap dan komplek pula. Perkembangan tersebut adalah satu hal yang wajar dan seharusnya terjadi, sebab kalau tidak, menjadi pertanda agama semakin tidak mendapat perhatian.



BIBLIOGRAFI

Nurhakim , Moh., Metodologi Studi Islam, Malang : t)MM Press, 2004.
Mudzhar , Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta : Pustika Pelajar,
1998, him 37.
ABD. Hakim, Atang, dan Mubarok, Jahih, Metodologi Studi Islam, Bandung : Remaja Rasda karya,
2001, him 62.
Nato , Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, him 40.
Abdullah ,Taufik dan Karim ,Rusli, Metodologi Penelitian Agama, Yogyakarta : Tiara Wacana,
1991.
Charles J. Adam, "Islamic Religiuos Tradition", dalam Leonard Binder (ed.), The Studi of the Middle-East, (New York, Wiely & Sons, tt.).


[1] Moh. Nurhakim, Metodologi Studi Islam, Malang : t)MM Press, 2004.

[2] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998, him 37.

[3] Atang ABD Hakim, Jahih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung : Remaja Rasda karya, 2001, him 62.

[4] Abuddin Noto, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, him 40.
[5] Taufik Abdullah dan Rush Karim, Metodologi Penelitian Agama, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991.

[6] Baca Charles J. Adam, " Islamic Religiuos Tradition", dalam Leonard Binder (ed.), The Studi of the Middle-East, (New York, Wiely & Sons, tt.).

Kamis, 03 Januari 2008

Filsafat Ilmu(topik pistemologi)



Sadari Ahmad, S.H.I



(Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Jogyakarta)





Makalah Matakuliah : Filsafat Ilmu(Topik Epistemologi)


(Dosen Pengampuh : Prof.Dr.H.Noeng Muhadjir)



Dari Dekonstruksi Pemikiran ke Dialog Antar-agama







PEMBARUAN pemikiran Islam dan dialog antaragama seolah tak pernah usai diperbincangkan dan didiskusikan. Ada banyak nama pemikir Muslim yang sangat concern dengan kedua agenda ini. Salah satunya adalah Mohammed Arkoun, kelahiran Aljir. Ia memfokuskan perhatiannya pada upaya untuk tidak saja memadukan unsur yang paling mulia dalam pemikiran Islam dan unsur yang paling berharga dalam pemikiran Barat modern, tapi juga merintis dialog antaragama yang tak terkungkung oleh pemahaman-pemahaman klasik model Abad Pertengahan. Arkoun menyerukan sebuah dialog antaragama yang mencerahkan, yang tidak memandang "yang lain" sebagai musuh yang sesaat dan harus diselamatkan. Ia juga telah terlibat dalam dialog antar-agama, khususnya Muslim-Kristen, selama 20 tahun lebih. Dalam proyek pembaruan pemikiran Islam, Arkoun memakai istilah "nalar Islam" dan "nalar modern". Yang dimaksudkan dengan nalar di situ adalah cara berpikir suatu kelompok tertentu. Selain hendak mempertahankan semangat keagamaan dan tempat penting yang diduduki angan-angan sosial dalam masyarakat muslim, Arkoun mengecam kejumudan (kebodohan, kerancuan) dan ketertutupan pemikiran Islam. ***

DALAM perspektif Arkoun, sebagian besar umat Islam belum beranjak dari pembahasan teologis-dogmatis yang kaku dan menganggap hal itu sakral yang karenanya tak boleh diperdebatkan lagi. Katanya, kesediaan untuk melakukan pembahasan secara ilmiah dan terbuka dalam mempelajari dan mengungkapkan etika Al-Quran dengan tetap mengingat konteks sejarah (asbab al-nuzul) adalah upaya untuk menepis kecenderungan negatif di atas. Upayanya itu untuk memahami dan menangkap "isi objektif" Al Quran memang tampak kuat. Pada titik ini Arkoun banyak mengapresiasi tak saja khasanah Islam, tetapi juga pemikiran Barat modern. Pemikiran Barat modern itu diambil rasionalitas dan sikap kritisnya, yang memungkinkan memahami agama dengan cara yang lebih baik, dapat menyingkap serta membongkar ketertutupan dan penyelewengan seperti disebut tadi. Ia sangat apresiatif terhadap semiotika, linguistik, antropologi, sosiologi, dan filsafat. Meskipun demikian, Arkoun juga bersikap kritis terhadap Barat. Misalnya, mengecam kepercayaan terhadap superioritas akal, karena, menurut Arkoun, kepercayaan itu tidak dapat dibuktikan oleh akal (Robert D Lee, 1996). Arkoun melakukan apa yang disebutnya sebagai "kritik nalar Islami", yaitu nalar Islami sebagaimana berkembang dan berfungsi pada periode tertentu dan masih mempengaruhi serta menguasai dunia Islam hingga hari ini. Kendati demikian, nalar Islami ini dikritik karena bukanlah satu-satunya cara berpikir dan memahami sesuatu yang mungkin terjadi di dalam Islam. Untuk melakukan "kritik nalar Islami" ini, ia memakai metode kritik sejarah; berangkat dari masalah bacaan sejarah atau problem historisisme dan problem hermeneutik. Dengan historisisme, Arkoun bermaksud melihat seluruh fenomena sosial-budaya melalui perspektif sejarah: masa lalu harus dilihat menurut strata historikalnya. Kajian historis ini harus dibatasi menurut runtutan kronologis dan fakta-fakta nyata. Jika metode ini diaplikasikan terhadap teks-teks agama, apa yang dibutuhkan adalah makna-makna baru yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut (hal. x). Dalam proyek pembaruan pemikiran Islam ini, Arkoun sering mengajak umat Islam untuk memanfaatkan temuan-temuan positif dari pengkajian kembali seluruh tradisi Islam menurut pemahaman ilmiah yang paling mutakhir. ***

BUKU yang diterjemahkan dari tulisan-tulisan Arkoun yang tersebar di berbagai jurnal ilmiah dan buku yang ditulis bersama orang lain ini, menyiratkan kerisauan Arkoun atas berbagai penyimpangan yang muncul dalam ranah akademis, agama, kultural, dan sosial-politik. Persoalan lain yang menjadi concern Arkoun adalah soal hubungan antara Barat dan Islam. Wacana ini memang menempati posisi penting dalam pemikirannya. Ia tak segan mengkritik para pembaharu sebelumnya yang kurang tepat dalam memandang Barat (Eropa). Muhammad Abduh, pembaharu dari Mesir misalnya, meski dipandang berani dan mencerahkan, tapi di mata Arkoun ia telah bertindak layaknya seorang apolog. Para apolog menurut Robert D Lee dalam pengantar buku Rethinking Islam (1996), mencoba menghadapi Barat sentris dengan Islam sentris, mencoba mempertahankan ide bahwa hanya ada satu Islam yang secara superior dan eksklusif mampu menemukan kebenaran. Sikap eksklusif ini amat ditentang Arkoun. Problem dialog antaragama yang berlangsung selama ini pun tidak terlepas dari persoalan di atas. Menurut kesaksian Arkoun, kaum agamawan merasa berkewajiban untuk berdiri melawan yang lain-tidak berusaha memasuki perspektif orang lain, tetapi melindungi, mengklaim, dan menegaskan "nilai-nilai" spesifik atau "otentisitas" yang tidak dapat dilampaui dalam agama masing-masing. Referensi-referensi teologis, menurut Arkoun, digunakan sebagai sistem kultural untuk saling bersifat eksklusif dan tidak pernah digunakan sebagai alat untuk melampaui kungkungan tradisional. Alih-alih melakukan pemikiran keagamaan yang baru, mereka justru terperangkap pada kubangan persepsi lama yang sudah memfosil. Fenomena seperti itu diperparah oleh fakta yang menyedihkan, bahwa tradisi keilmuwan lebih sering tidak dapat membantu kita untuk bergerak menuju pemikiran keagamaan yang baru. Untuk menyukseskan agenda dialog antaragama, khususnya antar-tiga agama Semit, Arkoun mengajukan beberapa hal penting. Pertama, melakukan pemikiran ulang tentang agama dan masyarakat menuju suatu era pemikiran baru berdasarkan solidaritas historis dan integrasi sosial. Kedua, melakukan reformasi pemikiran dari pemikiran teologis eksklusif menuju kritisisme radikal tanpa konsesi radikal terhadap "akal religius" sebagaimana fungsinya dalam tradisi tiga agama Semit itu. Ketiga, perlunya studi agama secara historis-antropologis. Di luar semua itu, melalui terjemahan buku ini, publik di negeri kita "dipermudah" untuk memahami dan mengapresiasi pemikiran Mohammed Arkoun, seorang intelektual muslim radikal yang pemikiran-pemikirannya dipengaruhi oleh kalangan posmodernis. Dengan memahami gagasan dan pendapat-pendapat Arkoun, kita menjadi diperkaya. Bila kita kaya akan pengetahuan, berarti cakrawala bertambah luas, tidak sempit.








Sejarah Sosial Pemikiran Hukum Islam



By : Sadari Ahmad, S.H.I
Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga




Makalah Matakuliah : Sejarah Sosial Pemikiran Hukum Islam


(Dosen Pengampuh : Prof.Dr.H.Akh.Minhaji,M.A.,Ph.D)




VALIDITAS ORIENTALISME
SEBAGAI PELETAK SUMBER KAJIAN HUKUM ISLAM DI BARAT





A. Pendahuluan

Diskusi tentang Orientalisme dikalangan intelektual Islam bukanlah suatu hal yang asing lagi, namun akan terus menjadi perdebatan ketika menyangkut perbedaan : logika, konseptual, aksentuasi serta berkenaan dengan lingkup minat dan kepentingan masing-masing. Disinilah penulis akan mengambil problematisnya yakni mencari agenda persoalan yang berkenaan dengan validitas(keabsahan) Orientalisme sebagai peletak sumber hukum Islam diBarat. Terlebih pada jaman mutakhir ini literatur keIslaman di banjiri oleh bahan-bahan dalam berbagai bahasa Barat yang kaya karya-karya penting. Sehingga ini merupakan tantangan metodologis tersendiri bagi umat Islam dalam mengkaji kajian keIslaman.
Keabsahan orientalis dalam peletak sumber hukum Islam diBarat merupakan pertanyaan besar yang perlu mendapatkan respons dan perlunya mendefinisikan sikap yang obyektif dan konsisten terhadap orientalism.
[1] Dimana umat Islam selama ini memandang orientalisme tidak selalu dihayati dalam citra yang sama. Lebih-lebih akan menjadi persoalan dan perdebatan yang terus berkepanjangan apabila orientalisme itu tidak dipandang sebagai suatu kajian ilmiah, sehingga muncullah sebuah prasangka yang terus membayangi, sebagai contoh adalah :



1) Semenjak terbitnya buku Edward Said, orientalism, singgungan kepada orientalisme berupa nada-nada yang amat negative.
2) Secara metodologis dalam kajian hukum Islam, orientalisme selalu mendapat tantangan dan gugatan seperti dikatakan oleh Muhammad Abd.Rauf yang menegaskan bahwa berdasarkan data sejarah, agak susah bahkan tidak mungkin bagi seseorang untuk mempelajari agama orang lain(outsider); oleh karena itu tegasnya perlu ditanyakan keabsahan orientalis(non-Muslim) untuk menkaji secara obyektif agama Islam, suatu pandangan yang juga beredar luas dikalangan umat Islam Indonesia.
[2]
3) Fazlur Rahman mengakui kebenaran kritik Rauf, dengan menambahkan bahwa orientalis tidak mungkin memasuki kajian Islam pada wilayah normative, lebih-lebih pada wilayah exoteric.
[3] Suatu metodologi yang diharapkan adalah mendekati obyektif yakni kombinasi dan sinergi dengan pendekatan normative dan empiris padahal model pendekatan ini hanya bisa dilakukan oleh umat Islam.

B. Pembahasan Latar Belakang Masalah Orientalisme

Kesadaran akan materi pembahasan Muslim dan Non-Muslim(orientalis) secara sadar muncul dalam konflik antara Muslim Timur dan Kristen Barat selama masa pertengahan. Sejalan dengan kemunduran negeri-negeri Muslim dan berada dibawah penjajahan Barat beberapa abad lamanya, dua konsep simultan tentang studi Islam muncul, satu diluar dunia Muslim dan lainnya didunia Muslim. Kebanyakan pembaca Barat lebih dekat dengan karya-karya dan kritik Islamis Barat tentang Islam. Namun demikian, mereka kurang akrab dengan impak dari kajian para sarjana Muslim yang telah berusaha mempertahankan tradisi mereka sesuai dengan sumber, standar, dan kriteria yang berasal dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi, dengan kata lain Studi Islam di Barat didorong oleh kebutuhan akan kekuasaan kolonial untuk belajar dan memahami masyarakat yang mereka kuasai.
Disisi lain studi Islam di Barat juga perlu diuji. Dengan rasa ingin tahu dan metode spekulasif, para sarjana Barat dirangsang oleh kontak mereka dengan kebudayaan Timur. Studi-studi mereka kurang deskriptif dan analistis, tetapi lebih bersifat historis dan terkaan. Hal ini adalah benar menyangkut karya-karya tertulis tentang agama Islam khususnya. Persoalan-persoalan tentang asal-usul Islam, derivasi pengetahuan dan gagasan-gagasan nabi, kronologi susunan ayat-ayat al-Qur’an, otensitas hadits, dan materi-materi lainnya, menjadi topic besar penelitian. Disamping karya-karya mereka lebih banyak meninggalkan terkaan, metode-metode yang digunakan pun jauh dari “bidang” yang disulap untuk menjelaskan Islam. Sosialis kembali pada interpretasi Marxis, menemukan dalam teori perjuangan kelas sebagai solusi atas persoalan tentang sebab-sebab historis dan mereka mengabaikan kemungkinan orisinalitas Islam. Di Eropa Barat dan Amerika, akar-akar Islam dipandang berasal dari tanah-tanah subur Judeo-Kristiani. Kebenaran-kebenaran yang diterima dan dipegangi seluruh Muslim selama 14 abad yang lampau- kehidupan nabi, sunnahnya dan tes al-Qur’an, yang semuanya merupakan muatan iman Muslim yang suci-ditundukkan pada analisis kritis yang salah arah, yang kadang-kadang tidak benar dan kurang sensitif. Situasi ini dipersulit lebih jauh oleh warisan ketidak senangan pengalaman politik masa lalu dan prasangka kultural yang terus hidup.
[4]
Tujuan penulisan ini adalah untuk menyajikan perspektif Muslim tentang hubungan keyakinan Islam dengan disiplin keilmuan yang menkajinya. Karena sejarawan agama yang menulis tentang Islam mengumpulkan sedikit informasi terutama dari para pakar Barat dalam “studi Islam”, fokusnya adalah pada permasalahan Islam. Esensi masalah yang perlu dikemukakan adalah : Apakah istilah studi Islam (Islamic studies) menandai pencarian intelektual yang hanya diupayakan dan dipertahankan oleh para sarjana Barat? Pandangan ini, meskipun sudah umum didunia Barat, mengabaikan studi Islam oleh para Muslim sendiri sejak kemunculan Islam. Lalu , apakah studi Islam Barat secara intrinsik salah arah atau berbahaya? Ini juga merupakan sikap buta terhadap capaian-capaian yang telah dicapai oleh banyak non Muslim. Dimana letak masalah yang banyak dialami Muslim dengan studi Islam”?

C. Mengenal Orientalisme Dalam Kajian Hukum Islam

1. Pengertian
[5] :
· Orien : Timur (negeri / orang / adat istiadat)
· Oriental : KeTimuran, hubungan dengan lingkungan (adat istiadat / bentuk /
cirri-ciri / tabiat)
· Orientalism : Ahli Barat yang mempelajari Timur
· Orientalisme : Ilmu pengetahuan keTimuran atas tentang (adat-istiadat / sastra /
bahasa / kebudayaan dsb)

2. Kelompok Pemikir Sarjana Barat dan teori dari orientalisme
Sarjana Barat yang menekuni hukum Islam:
1. Noel James Cuolson,
2. Patricia Crone,
3. Judith Romney,
4. Ann Elizabeth Mayer,
5. George Makdisi,
6. J.N.D.Anderson,
7. John Makdisi,
8. Wael B. Hallaq,
9. David S. Power,
10. Rudolf peters

Terbagi menjadi dua kelompok pemikiran hukum Islam di Barat antara lain :
1) Kelompok pertama : kelompok tradisional yang mendasarkan Kajiannya pada literatur yang ditulis oleh orang arab/Islam.Sarjana dari kelompok pertama :
· David S.Power
· Wael B. Hallaq
2) Kelompok kedua : revisionis yang Bertitik tolak dari anggapan bahwa Islam itu sebenarnya tidak mempunyai rumusan ajaran hukum. .. hampir seluruh formulasi hukum yang ada merupakan hasil jiplakan dari aturan-aturan agama sebelumnya. Para sarjana dari kelompok ini:
· William Muir
· Patricia Crone
Ada empat teori yang digunakan kelompok revisionis:
1) Pertama: Common Link Theory
Bahwa pada saat tertentu, pembawa hadits hanya satu orang. orang tersebut menerima dari orang banyak dan kemudian menyebarkan kepada orang banyak, hal inilah yang menimbulkan pertanyaan besar, sebab tidak mungkin satu hadits hanya diterima dan disebarkan oleh satu orang saja.
2) Kedua: E-Silentio Theory
Pada saat terjadi perdebatan masalah hukum, salah seorang peserta diskusi tersebut mengajukan satu dalil berupa hadits yang dikatakan berasal dari nabi. Sebenarnya, jauh sebelum itu sudah ada perdebatan menyangikut hal yang sama. namun ketika perdebatan pertama itu terjadi tak seorangpun yang mengemukakan hadits. ini memberikan indikasi bahwa sebebenarnya bukan berasal dari nabi dan hanya merupakan fabrikasi seorang untuk mendukung pendapatnya yang memunculkan pada saat perdebatan kedua.
3) Ketiga: Backward-Projection Theory
Teori ini bertolak dari banyaknya data yang menunjukkan bahwa pada saat tertentu seorang mengeluarkan satu alasan untuk mendukung pendapatnya. agar alasannya itu dipandang kuat, mudah diterima oleh orang banyak dan mampu mengalahkan pendapat yang menentangnya, maka alasan itu disandarkan kepada orang terkenal sebelumnya.
Sebagian sarjana mengatakan bahwa kokohnya madzhab dalam hukum Islam antara lain antara lain disebab oleh Backward-Projection ini. Terbukti banyak sekali ulama yang sebenarnya menempati posisi mujtahid mutlak; namun dalam kenyataannya mereka tergolong / menggolongkan dirinya/ digolongkan pada warisan ulama madzhab tertentu.
Contohnya:
a. ibn Taymiyyah digolongkan ke dalam madzhab Hanbail
b. ibn hazm yang digolongkan ke dalam madzhab Dhahiri
4) Keempat: redaction theory
Teori menegaskan bahwa satu pendapat atau satu karya tulis itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Oleh karena itu, untuk memahami suatu pendapat atau karya diperlukan pemahaman Terhadap konteks yang ada.
3. Model pendekatan para orientalis dalam kajian hukum Islam
Arti pendekatan :
“ A particular way of thinking about dealing with something.”
Arti penting pendekatan sejarah:
1) Untuk meletakkan produk pemikiran hukum Islam itu pada tempat yang seharusnya.
2) Untuk Memberikan tambahan Keberanian Kepada Para Pemikir Hukum Islam Sekarang Agar tidak Ragu-Ragu -Bila Merasa Perlu- melakukan Perubahan Suatu Produk Pemikiran Hukum Karena Sejarah Telah Membuktikan, Bahwa umat Islam Di Berbagai Penjuru Dunia Telah melakukannya -Tanpa Sedikitpun Merasa Keluar Dari Hukum Islam.


Jenis-jenis penelitian hukum Islam:
1) Penelitian hukum Islam sebagai doktrin. Sasarannya : dasar-­dasar konseptual hukum Islam seperti masalah filsafat hukum Islam, sumber-sumber hukum, konsep maqashid al-syariah, Qawaid al-fiqhiyyah, manhaj al-ijtihad, thariq al-istinbath, qiyas, dll.
2) Penelitian hukum :Islam normatif. Sasarannya: hukum Islam sebagai norma atau aturan, baik yang masih dalam bentuk nas (ayat-ayat ahkam, hadits-hadits ahkam) maupun yang sudah menjadi produk pikiran manusia (kitab-kitab fiqh, keputusan pengadilan, undang-undang, fatwa ulama, dll.
3) Penelitian hukum Islam sebagai gejala sosial. Sasaran: perilaku masyarakat Muslim dan masalah-masalah interaksi antar sesama manusia, baik antar sesama Muslim maupun antara Muslim dan non-Muslim, disekitar masalah hukum Islam.
Three dimensional approach (john O. voll):
1) Peneliti harus memberikan perhatian yang cukup terhadaq pemikiran tokoh & kelompok-kelompok yang berpengaruh dalam satu gerakan tertentu.
2) Hendaknya diteliti bagaimana respon gerakan tersebut; terhadap ide-ide baru yang muncul di tengah masyarakat.
3) Seorang peneliti harus mempunyai bekal yang cukup tentang ajaran Islam itu sendiri
Anachronistic modes of interpretation (r. stephen trtumphryes), ada dua model:
1) pertama, Synchronic, yakni memahami data sesuai dengan apa adanya.
2) kedua, Diachronic, yakni menginterpretasi data (masa lalu ) berdasarkan situasi dan kondisi dan pemahaman masa kini.
Dengan kedua model ini, kejadian masa lalu menjadi hidup kembali dan bermakna bagi manusia sekarang dan bahkan yang akan datang.


Pendekatan dalam kajian hukum Islam:
Pertama Pendekatan sejarah
Pendekatan yang digunakan : Pendekatan sejarah yaitu: mencoba sekuat tenaga untuk memahami sejumlah peristiwa yang terkait dengan hukum Islam pada masa lalu, apa yang terjadi pada masa sekarang, hubungannya antara keduanya, dan pada gilirannya semua itu digunakan untuk menjawab persoalan hukum yang dihadapi sekarang dan sejarah.
Kedua, pendekatan sosiologi
Mempelajari hubungan timbal balik antara, agama dan masyarakat yang terkait dengan hukum Islam.
Tema-tema pendekatan sosiologi dalam kajian hukum Islam:
1) pertama, pengaruh hukum Islam terhadap masyarakat dan perubahan masyarakat.
Contoh: ibadah haji yang wajib telah mendorong ratusan ribu umat Islam indonesia berangkat ke tanah suci, mekkah, dengan segala akibat ekonomi, penggunaan alat transportasi dan organisasi manajemen dalam penyelenggaraannya, serta Akibat-akibat struktural dan sosial yang terbentuk setelah mereka pulang dari menunaikan ibadah haji.
2) Kedua, pengaruh dan perkembangan masyarakat terhadap pemikiran hukum Islam.
Contoh: oil booming di Timur tengah di Negara-negara dan semakin,meengentalnya Islam sebagai ideologi ekonomi di Negara-negara teliuk pada awal 1970-an telah menyebabkan lahirnya sistem perbankan Islam yang kemudian berdampak ke indonesia menjadi bank mu'amalat.
3) Ketiga, tingkat pengamalan hukum masyarakat.
Misalnya bagaimana perilaku masyarakat Islam mengacu kepada hukum Islam.
4) Keempat, pola interaksi masyarakat di seputar hukum Islam.
Contoh: bagaimana kelahiran Keagamaan dan politik indonesia, meresponi berbagai persoalan hukum Islam seperti RUU PA, boleh tidaknya wanita menjadi pemimpin negara, dsb.
5) Kelima, gerakan atau organisasi kemasyarakat yang mendukung atau kurang mendukung hukum Islam.
Contoh: Islam liberal, FPI, Lasykar Jihad, Mujahidin, Para­madina, NU, Muhammadiyah.
Ketiga, sejarah-sosial
Yaitu pendekatan bahwa setiap produk pemikiran hukum Islam pada dasarnya adalah hasil interaksi antara si pemikir hukum dengan lingkungannya sosio-kultural atau sosial yang mengitarinya.
Ringkasnya, berupaya menjelaskan bahwa setiap produk hukum tidak lepas dari pengaruh budaya yang mengitari produk hukum itu sendiri.
Jenis-jenis produk hukum Islam :­
1) kitab fiqh
Biasanya dianggap literatur yang paling mapan dan menyeluru isinya, sehingga dipelajari dan menjadi rujukan luas.
2) Keputusan pengadilan
Isinya tidak bersifat menyeluruh teapi mengikat pihak yang berperkara.
3) Fatwa ulama/mufti
Tidak bersifat menyeluruh tetapi dinamis karena merupakan respon terhadap pertanyaan yang diajukan, meskipun sifatnya tidak mengikat.
4) Undang-undang yang berlaku di negeri Muslim
Dirumuskan bukan hanya oleh fuqaha dan sifatnya mengikat seluruh warga negara.
5) Kompilasi hukum Islam
Semacam ijma ulama (indonesia) yang kemudian dituangkan menjadi. Instruksi presiden.


D. Perdebatan Para Orientalis Tentang Beberapa Aspek Hukum Islam

Model Studi Hukum Islam Di Mc Gill Universitf Canada, Dalam Hal Ini Ada Tujuh Topik Perdebatan Dalam Kajian Hukum Islam:
Pertama:
1) Tentang Asal Usul Hukum Islam (The Question Of Origins).
2) Isinya: Pertanyaan Para ilmuwan Barat tentang awal,. Mula Terbentuknya hukum Islam Dan Kevalidain Sumber-Sumbernya.
3) Tentang Formasi Awal Hukum Islam Pikiran Joseph Schacht, Noel James Coulson, Dan S.D. Goitein Menjadi Bahan Diskusi.
4) Schacht Berpendapat Bahwa Hukum Islam, Baru Muncul Di Sekitar abad kedua Hijriah.
5) Coulson Menyatakan Bahwa Hukum Islam Telah Lahir Pada masa Rasul.
Kedua:
1) Perbincangan Tentang Pengaruh Dari Luar Yang Masuk Ke da1am Hukum Islam (The Question Of Foreign On Early Islamic Law).
2) Topik Ini Berusaha Menjawab Apakah Islam Banyak Mengimpor Nilai­-nilai Hukum Dari Sistem Hukum Yang Sudah Muncul Sebelumnya, Misalnya Dari Hukum Romawi, Yahudi, Nasrani atau Adat Masyarakat Arab Sendiri.
3) Ada dua kubu:
a) Pertama, kubu yang setuju dengan tesis yang mengatakan bahwa hukum Islam memang banyak: berhutang budi kepada sistem-sistem hukum lain. kelompok ini dipelopori oleh j. schacht dkk.
b) Kedua, kubu yang menentang pandangan yang pertama. dalam hal ini, Wael B. Hallaq adalah tokoh yang secara kuat tenaga menentang asumsi tsb dengan alasan: bahwa orang-orang Barat yang cenderung merendahkan yang antara hukum Islam dengan sistem hukum lain tersebut sebagat identik dengan bukti penyerapan. pertanyaan yang 1ajukan adalah apakah kemiripan itu musti berlaku sebagai pertanda suatu keterpengaruhan? mengapa tidak dipahami bahwa kemiripan itu muncul karena manusia di manapun ia berada pada dasarnya mempunya perasaan hukum yang sama.

ketiga:
1) tentang paham pro-kontra apakah hukum Islam sebagai hukum yang tetap atau senantiasa mengalami perubahan (the question of legal change vs. immutability).
2) Islamis Barat cenderung pada paham aahwa hukum Islam tidak jauh berbeda dengan hukum lain yang senantiasa berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman.
3) orang Timur (Islam) berpaham sebalilknya, bahwa hukum Islam merupakan sistem hukum yang tetap dan tidak dapat dirubah (immutable).
4) orang Barat melihat hukum Islam dari dimensi praktik dan realisasinya di negara-negara Islam, sedang orang Islam tampak masih dikungkungi oleh teori klasik hukum Islam yang melihatnya dari posisi teoritisnya saja.
keempat:
1) hubungan antara hukum dan pendidikan agama dalam masa pertengahan Islam.
2) tokoh yang menjadi sentral george makdisi
3) hasil diskusi ini memberikan petunjuk yang kuat bahwa lembaga-­lembaga pendidikan Islam yang berdiri pada masa abad pertengahan sangat memberikan pengaruh yang kuat kepada perkembangan hukum Islam saat ini.
4) munculnya halaqah-halaqah yang biasanya dimotori oleh. seorang ahli hukum Islam memberikan warna tersendiri bagi berkembanganya mazhab-mazhab dalam hukum Islam ke dalam berbagai daerah baru Islam.
kelima:
1) konflik antara kelompok realis dan idialis studi hukum Islam.
2) tokoh: m. kerr dengan karya Islamic reform dan n.j. coulson dengan karya, conflicts and and tensions in Islamic jurisprudence.
3) orang Barat sangat realis dalam hukum Islam.
4) topik yang menjadi tumpuannya:
a) wahyu dan akal
b) kebersatuan dan perbedaan
c) otoriaterianisme dan liberalism
d) idealisme dan realisme
e) hukum dan moralitas
f) stabilitas dan perubahan
keenam:
1) tentang status wanita dan anak-anak dalam Islam tradisional dan modern (the status of women and children in traditional and modern Islam).
ketujuh:
1) Reformasi hukum Islam.
2) Melihat fenomena-fenomena yang muncul di beberapa Negara Islam pada penghujung paruh pertama abad ke-20 dengan apa yang mereka sebut sebagai kebutuhan untuk menginterpretasikan hukum Islam sehingga suatu teori hukum Islam yang sesuai dengan perkembangan masa dapat ditafsirkan, jika memang diperlukan.
3) Munculnya trend baru di beberapa negara Islam pada pasca penjajahan yang tampak menempatkan wanita dalam posisi hukum yang lebih baik daripada masa-masa sebelumnya.


E. Kesimpulan

Minat terhadap sudi Islam di institusi-institusi Barat bukan tanpa manfaat baik. Bahkan ia memperkaya kepustakaan tentang Islam dalam berbagai segi, an ia memeparkan tantangan bagi keilmuan Islam. Para orientalis yang jujur dan terbuka adalah instrument dalam menjelaskan beberapa capaian peradaban Islam kepada masyarakat Barat. Tetapi merreka juga berbahaya, ketika atsa nama ilmu, asal-usul Islam dijelaskan sebagai muncul dari fenomena ekonomi atau buaya lain. Apapun yang dikatakan tentang Islam dalam hubungan dengan ruang dan waktu dimana ia muncul, keunikan dan klaim keterujiannya pada para pengikutnya tidak dapat dijelaskan.
Kita juga sebagai Muslim harus menyatakan rasa hormat atas uapaya banyaksarjana Barat yang membantu lebih banyak belajar tentang Islam. Melalui upaya melelahkan, banyak dari mereka yang telah memeberi kontribusi bermanfaat bagi pengetahuan kita tanpa menyalahi subtansi keilmuan Muslim, nabi, atau makna al-Qur’an. Sarjana-sarjana semacam itu memandang Muslim sebagai masyarakat yang mempunyai kebenaran tersendiri, tidak sebagai subjek colonial atau objek ingin tahu. Tantangan yang sekarang dihadapi studi Islam di Barat khususnya di Amerika Serikat, adalah upaya untuk menjdai jembatan yang efektif antara dunia Barat dan Muslim. Persolan-persoalan sulit ini harus dihadapi. Sejauh mana para sarjana Islam memainkan peran dalam membantu memformulasi kebijakan luar negeri Amerika Serikat vis a vis Negara-negara Muslim? Bagaimana para Islamis Barat dapat berperan mengurangi dari pada mempertinggi kesalahpahaman tentang belahan dunia yang sekarang mempengaruhi Barat cukup mendalam.


Daftar Pustaka

1) Majid Fakhry, “The search for Culture in Islam: Fundamentalism and Occidentalism”, Dalam Islam Perenniality of Values, No.1 Vol.IV, 1977, hal.97-107.

2) Muhammad Abd.Rauf, “Outsider’s Interpretation of Islam : A Muslim Point of View,” dalam Approaches to Islam in Religious Studies, ed.Richard C.Martin(Tucson : The University of Arizona, 1985),

3) N.J.Coulson : Buku Konflik dalam Yurisprudensi Islam, penerjemah Drs.H.Fuad,M.A, tulisan dari Prof.Drs.Akh.Minhaji,M.A.,Ph.D “Noel James Coulson dalam Perspektif Orientalisme Hukum Islam”(Yogyakarta : Anggota IKAPI November 2001).

4) Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies : Review Essay,” dalam Approaches to Islam in Studies, ed.Richard C.Martin (Tucson : The University of Arizona, 1985).

5) Richard C.Martin: Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, kata pengantar ; H.M.Amin Abdullah(Surakarta, Muhammadiyah University Press 2002)

6) Kamus Imiah Popular, Pius A Patanto , M.Dahlan Al-Barry : Arkola Surabaya.

[1] Lihat tulisan Majid Fakhry, “The search for Culture in Islam: Fundamentalism and Occidentalism”, Dalam Islam Perenniality of Values, No.1 Vol.IV, 1977, hal.97-107.

[2] Muhammad Abd.Rauf, “Outsider’s Interpretation of Islam : A Muslim Point of View,” dalam Approaches to Islam in Religious Studies, ed.Richard C.Martin(Tucson : The University of Arizona, 1985), lihat juga N.J.Coulson : Buku Konflik dalam Yurisprudensi Islam, penerjemah Drs.H.Fuad,M.A, tulisan dari Prof.Drs.Akh.Minhaji,M.A.,Ph.D “Noel James Coulson dalam Perspektif Orientalisme Hukum Islam”(Yogyakarta : Anggota IKAPI November 2001).

[3] Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies : Review Essay,” dalam Approaches to Islam in Studies, ed.Richard C.Martin (Tucson : The University of Arizona, 1985).
[4] Richard C.Martin: Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, kata pengantar ; H.M.Amin Abdullah(Surakarta, Muhammadiyah University Press 2002)

[5] Menurut kamus Imiah Popular, Pius A Patanto , M.Dahlan Al-Barry : Arkola Surabaya.

Hak-hak Wanita Dalam Islam

Sadari Ahmad, S.H.I

Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Jogyakarta

Makalah Matakuliah : Hukum Perkawinan dan Perceraian di Dunia Islam
(Dosen Pengampuh : Prf.Dr.Khoiruddin Nasution, M.A)
HAK - HAK PEREMPUAN DALAM ISLAM

A. Pendahuluan




Sekitar abad ke duapuluh banyak sekalai tantangan di berbagai negara Islam di dunia. Modernisasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, telah mengubah pertumbuhan ke arah industrialisasi dan urbanisasi. Sehingga dari hasil pengembangan ini telah merubah kondisi sosial amat besar, diantarnya adalah struktur keluarga dan terutama di dalam peran para wanita dan peranannya di dalam Masyarakat Muslim. Sepanjang periode lama telah merendahkan status wanita lebih rendah dari pria, untuk itulah diamasa periode modern ini ingin mempertanyakan dan untuk mewujudkan serta menghadirkan ideal yang islamic. Terutama, sesuatu yang bersifat konflik yang tidak bisa dipisahkan antara tradisi yang islamic dan tuntutan zaman modern?



Pokok wanita dan keluarga di dalam islam adalah sesuatu yang sulit, penuh dengan kesalah pahaman. Suatu kenyataan yang telah diterima dalam praktiknya yakni
1. veiling(burqa) dan
2. pingitan (purda)




Islam adalah suatu agama yang tidak mengajarkan apapun hak-hak untuk para wanita secarah penuh untuk lebih takluk pada seorang pria. Sesungguhnya, ini adalah jauh dari kenyataan yang Qur'anic, dari gambaran yang muncul dari awal sejarah islamic. Suatu penyebab posisi para wanita rendah di dalam masyarakat Islam menunjukkan bahwa situasi seperti itu mencerminkan bukan isi maupun roh yang asli dalam al-Qur'an.
Banyak dari praktek sosial dan praktek sah dalam undang-undang yang mengabadikan status para wanita begitu rendah melalui pengaruh dari kebiasaan sosial dalam abad pertengahan dan masa lampau waktu itu. Sejak itulah kebiasaan ini menerobos kultur islamic dan kemudian menjadi norma-norma yang diterima, norma itu secara alami dianggap sebagai ajaran islam. Dan sejak itu dikenali sebagai islam, Norma itu kemudian telah dipandang sebagai aturan yang tak dapat berubah dan sesuatu yang suci dalam ukuran sosial.
Pengenalan yang standard ini, telah ditampakkan pada masyarakat pertengahan, adalah sesuatu tidak bisa bertahan lama dan tidak pas untuk dihadirkan dalam kondisi sosial yang akan datang sebagai akibat sosial dan ekonomi di dalam abad ke duapuluh itu. Sikap pada abad pertengahan ini dan nilai-nilai mengenai para wanita dan keluarga Islam sudah seharusnya untuk melanjutkan perubahan sosial. Posisi wanita-wanita di dalam islam dapat dan harus dipandang dari dalam konteks historisnya.
Dalam rangka lebih baik memahami itu mengubah peran para wanita muslim dan hubungannya dalam tradisi yang islamic, studi ini akan menguji status para wanita di dalam masyarakat islam, dari suatu historis dan perspektif kemasyarakatan.
Posisi para wanita di dalam zaman klasik akan dipandang berbeda dengan statusnya di dalam masyarakat Arab pre-islamic dalam rangka itulah islam memberikan suatu pemahaman pada status itu di dalam periode klasik. Lebih lanjut, ini akan memberikan suatu nilai yang menguntungkan dari pandangan yang buruk tentang status wanita sepanjang periode pertengahan itu. Catatan ini, dalam rangka memberikan perhatian khusus mengenai pribadinya dengan melakukan diskusi dari beberapa faktor yang mendukung posisi para wanita yang tertekan di dalam Masyarakat Orang Islam pertengahan adalah suatu stuasi yang harus diteruskan keberadaannya hingga menuju ke periode yang modern itu.

B. Wanita Pada Masa Arabia Pre-Islamic




Suatu tinjauan ulang tentang status para wanita yang dipandang rendah di dalam zaman pre-islamic memberikan suatu pemahaman masih adanya perubahan yang telah dikenalkan dalam al-Qur'an untuk meningkatkan posisi mereka di dalam islam klasik. Di dalam suatu masyarakat primitif yang terancam oleh kemiskinan dan kelaparan, bayi wanita yang tidak mempunyai potensi yang sama untuk mobilitas dan kekuatan individu sebagai pria, sering mewakili suatu beban besar. Satu penjelmaan dari sikap ini adalah praktek pembunuhan terhadap bayi wanita pada zaman pre-islamic. Keberadaannya ini ditegaskan dalam al-Qur'an:
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah.
Ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.[1]
Sebab mereka lebih kuat dan lebih tangkas dibanding para wanita, kebanyakan dari tugas-tugas penting suatu masyarakat pengembara(kemampaun berjuang/berkelahi sebagai prajurit, untuk menyerang binatang, untuk menangkap makanan), menjadi lebih baik dilaksanakan oleh kaum pria. Para wanita, yang mudah diperdaya dengan kekerasan dan banyak hidup mereka yang diperlemah oleh kehamilan atau membatasi gerakan dengan pemeliharaan anak-anak, bisa dengan mudah dijadikan alasan kekurangan bagi suatu suku bangsa. Para wanita adalah sering dalam bahaya cuma dijadikan seperti isteri atau selir musuh, suatu aib serius untuk keluarga mereka. Seperti itu, kondisi sosial dan kelangsungan hidup untuk keperluannya.
Sebagai tambahan, penurunan dari status para wanita dapat melekat pada jenis perjanjian perkawinan. Di masa Arabia, perkawinan dapat dikategorikan mejadi dua :
1. Seseorang berdasar pada kekerabatan wanita (sadlqa) dan
2. Pria didasarkan pada pertalian keluarga(bal).




Faktor lain yang mendukung status para wanita lebih rendah adalah hak orang tentang poligami tak terbatas, ketidak-tentuan semata-mata ketika kemampuan pria untuk menangkap atau membeli wanita-wanita. Seperti hak hidup sepanjang; seluruh Byzantium, Persia, Syria Dan Arabia.




C. Perubahan Quranic Dan Periode Yang Klasik
Praktek mas Pre-Islamic tentang perkawinan sementara(mut'a) dan tak terlarangnya poligami telah dibatasi dalam jumlah isteri, yakni empat. Pembatasan ini nampak untuk menghadirkan suatu Kecenderungan al-Qur'an ke arah yang lebih baik, monogami, suatu format perkawinan yang tidaklah mungkin pada waktu itu. Social, keadaan selama periode ini, poligami dapat diterima, dan keberadaan dari banyak para janda dan yatim piatu yang ditinggalkan oleh orang-orang yang telah meninggal dalam pertempuran dan sedang kekurangan perlindungan dalam perkawinan. Dari situlah dapat dipahami bahwa adanya pernyataan tidak syah poligami. Seperti itu, Sajak Ayat al-Qur’an dari yang mana kendali poligami diperoleh harus dipahami dalam konteks permasalahan sebagai hasil perang Uhud, 3/625, yang yang telah menyebabkan kematian beberapa persen dari substansial dari Orang-orang Islam:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[2]
Dalam pandangan Pembaharu Islam, perintah al-Qur'an menganjurkani monogami dengan menekankan keperluan untuk perlakuan yang sama dari tiap isteri. Lebih dari itu, kesukaran, dan ketidakmungkinan kita untuk bisa melakukannya dinyatakan dalam ayat yang berikut:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.[3]
Di dalam usaha lain untuk memperkuat posisi perempuan di dalam perkawinan, al-Qur'an menyatakan kapasitas yang sah tentang undang-undang penuh mengenai perjanjian perkawinan dan menerima mas kawin(mahr). Hanya isteri, kemudian, dan bukan bapaknya atau lainnya, seperti tadinya kebiasaan, adalah untuk menerima mas kawin dari suaminya:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan “[4]
Seperti itu, perempuan menjadi suatu mitra sah tentang undang-undang kepada perjanjian perkawinan bukannya suatu obyek yang akan dijual.
Maraknya perbedaan keyakinan di dalam dunia Barat, tujuan yang asli awal Iman Islam bukanlah untuk mendorong pada perdebatan yang dapat mengecilkan hati. Tentu saja, Nabi sendir mengatakan"... dari semua berbagai hal yang diijinkan, adalah perceraian akan tetapi sangat dibenci oleh Tuhan." Bagaimanapun, di mana jika perceraian adalah satu-satunya alternatif, al-Qur’an mencari untuk melindungi perempuan dan haknya. Jadi orang-orang yang sedang mempertimbangkan perceraian dari isteri mereka secara konstan diperintahkan untuk memperbaharui kembali sebelum perceraian itu benar-benar terjadi yaitu dengan adanya ‘idda(masa tunggu) tentang tiga bulan, memberi pemeliharaan penuh selama periode ini, sebelum suatu perceraian akhir dapat berlangsung. Jika seorang isteri adalah hamil, masa tunggu diperluas sampai penyerahan dari anaknya.
Suatu penyalahgunaan umum di dalam Masyarakat Arab Pre-Islamic terjadi ketika seorang laki-laki menceraikan isterinya di dalam suatu kemarahan dan kemudian sama halnya dengan banyak tingkah, mengambil nya kembali. Praktek ini hidup untuk salah satu dua pertimbangan mungkin: untuk meyakinkan isteri itu untuk melepaskan mas kawinnya sebagai pertukaran dengan cuma-cuma akhirnya. Member kebebasan atau untuk mencegahnya dari kawin lagi. Untuk menghapuskan ketidakadilan ini, al-Qur’an memerintahkan bahwa seorang suami boleh menceraikan isterinya tetapi dua kali (al-Qur’an :11, 229) dan bahwa dengan mengabaikan alasannya, sepertiga pengucapan kata-kata' tentang rumusan perceraian membuat suatu perceraian tidak dapat dibatalkan.
Akhirnya, al-Qur’an membangun hak wanita untuk menerima warisan. Di dalam Arabia Pre-Islamic, seperti di peradaban banyak orang, warisan yang dilewati hanya untuk mendewasakan keluarga yang halus kepada para wanita secara total yang merdeka untuk kelangsungan hidup mereka. Bagaimanapun, di dalam Masyarakat Islam(Umma) lebih pada penekanan telah ditempatkan di sebelah kanan anggota keluarga, yang terutama para wanita. Perubahan Islam ini dicerminkan peraturan yang baru tentang warisan yang telah dilapiskan atas adanya Praktek. Al-Qur'an memberi hak warisan ke isteri, para putri, para saudari dan para nenek, semua dari siapa yang telah sebelumnya tidak mempunyai hak rangkaian sama sekali. yang baru "Qur’anic dalam Warisan ini” bagian yang sebanding yang diterima status meninggal sebelum Warisan lewat ke atas pria. Hanya setelah Klaim al-Qur’anic ini telah dicukupi, adalah sisa keluarga memberikan kepada keturunan pada pihak laki-laki saja yang paling dekat yang relatives. Secara umum mengatakan, wanita mewarisi telah dihadiahi suatu bagian setara dengan setengah jumlah berikan dari pria.
Sebagai tambahan terhadap Peraturan al-Qur'an spesifik menetapkan dan melindungi hak wanita, al-Qur'an mengumumkan persamaan perempuan beragama dengan orang baik sebagai salam kewajiban mereka untuk mohon dan memimpin hidup berbudi luhur dan persamaan hukuman dan penghargaan mereka di pertimbangan yang akhir. Al-Qur'an menyatakan persamaan beragama mereka dengan cara ini:
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.[5]
Area lain di mana para wanita membedakan diri mereka adalah , hadith ( tradisi) literatur. Di samping fakta bahwa ilmu pengetahuan hadith mengacu pada pengirim tradisi sebagai rijal al-hadith (kebiasaan pria) wanita-wanita sering dimainkan dalam peran terkemuka sebagai pembawa. Seperti itu, sebagai contoh, suatu sumber yang terkenal Sahih al-Bukhari's adalah Karima bint Ahmad ( d. 462/ l066).

D. Kemunduran Status Wanita-Wanita




Periode Yang pertengahan
Di atas cara membawakan kebebasan dan persamaan yang dinikmati oleh para wanita pada awal berabad-abad adalah membentur pada perbedaan mereka lebih menundukkan keadaan di dalam Masyarakat Arab kemudiannya. Kemunduran dari peradaban muslim kedalam feodalism adalah secara umum juga menyebabkan kemunduran status wanita. Sebagaimana Neijla Izzeddin menurut pemahaman penelitiannya:
Ketika Masyarakat Arab adalah para wanita kreatif produktif mengambil bagian dalam aktivitasnya dan bersama kesejahteraan/kesehatan dan kekuatan yang umum. Ketika vitalitas surut pergi dan mundur, perempuan menderita bersama dengan komunitasnya.
Bagaimanapun, satu lagi masalah nyata yang secara langsung berhubungan dengan hilangnya hak para wanita yang mula-mula mewariskannya dalam al-Qur'an adalah pengaruh hukum adat yang kuat. Selama waktu, Islam menyebar ke banyak negeri, interaksi dan persilisihan tentang Perubahan al-Qur'an dengan kebiasaan sosial yang kuat, tentang orang bertobat baru menyempurnakan penyesuaian budaya baru yang secepatnya menurunkan status para wanita. Sebagai contoh, kapan Orang Islam datang ke dalam, kota besar Syria, Mesopotamia, Persia Dan Mesir, wanita-wanita mereka mengadopsi selubung wajah sebagai pemberian/hadiah kepada berlaku kebiasaan sedemikian sehingga mereka tidak akan salah dipahami untuk wanita-wanita dari karakter lepas yang tinggal terbuka dari selubung. Demikian juga, kebiasaan pingitan ( harem atau purdah) yang mula-mula telah dilatih/dipraktekkan Kota Yunani kuno Dan Persia buat caranya kepada Pengadilan Baghdad yang Persianized dan secepatnya memperoleh penerimaan umum di dalam Negeri Islam.
Sungguh sial, melalui berbagai zaman kebiasaan pingitan dan menyelubungi menjadi yang dibenarkan dengan memberi mereka otoritas religius dan sanksi dan dengan begitu menunjukannya ke Islam. Sebagai contoh, al-Qur'an memberi perintah ke Para putri Dan Isteri Muhammad dan para Wanita Islam lain untuk metutup diri mereka dengan pakaian luar ketika berjalan di luar. Instruksi Ini telah diberikan kepada Para pengikut Muhammad yang ada di waktu ini di dalam Mecca tunduk kepada hinaan:
Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[6]

Niat bukanlah untuk membatasi kebebasan wanita-wanita namun juga jalan lintasan ini digunakan untuk membenarkan menyelubungi dikuatkan. Suatu contoh terkemuka dari pertimbangan seperti itu datang dari suatu komentar yang terkenal al-Qur'an yang ditertulis oleh al-Tabari (d.310/923) siapa yang hidup/tinggal kebanyakan dari hidupnya di Baghdad. Penulisannya mencerminkan lingkungannya di mana jika menyelubungi wanita-wanita cuma-cuma sebagai tanda kebesaran berakibat untuk mencirikan mereka dari yang besar jumlah anak-anak perempuan budak terbuka dari selubung. Tafsir Tabari's menginterpretasikan itu di atas ayat dengan cara berikut:
Tuhan katakan kepada Nabi nya, ' Ceritakan kepada para putri dan isteri mu dan isteri yang percaya ketika mereka keluar pintu untuk menjadi tidak seperti para budak wanita di (dalam) garb, meninggalkan mereka dan wajah yang terbuka dibiarkannya mengecewakan bagian dari jubah mereka yang tidak (ada) penjahat boleh menyingkapkannya komentar berbahaya ketika ia menemukannya untuk menjadi para wanita yang bebas’.
Lain pesan penting dalam al-Qur’an, sering salah menafsirkan, sukses dengan ketentuan-ketentuan kesederhanaan, yang adalah serupa untuk kedua-duanya para laki-laki dan perempuan: pesan berikut berlaku bagi para wanita:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka.[7]
Dari keputusan/perintah ini al-Baydawi, pada abad ketiga belas Persia dan dari sekian banyak komentator yang paling terkenal atas al-Qur'an, mencerminkan kebiasaan pada jamannya oleh penafsirannya. Al-Baydawi percaya bahwa" perhiasan" yang disebut adalah wajah perempuan dan dua tangan yang perlu saja terbuka untuk doa/sholat:
Tentu saja keseluruhan badan seorang perempuan cuma-cuma diharapkan untuk dihormati seperti kemaluan dan tidak ada bagian darinya boleh dengan sah dilihat oleh seseorang tetapi suaminya atau famili dekat, kecuali dalam keadaan butuh, seperti ketika dia adalah dalam menjalani perawatan medis atau membuktikan.
Bagaimanapun, di samping usaha komentator untuk membenarkan kebiasaan sosial mereka melalui pesan al-Qur’an, bukti lebih lanjut yang menyelubungi adalah suatu kebiasaan sosial sebagai ganti suatu surat perintah religius datang dari fakta bahwa para Wanita kristiani di dalam Kota besar Arab juga menutup wajah mereka, dan di pada abad ke sembilan belas Mesir kedua-duanya Yahudi dan para Wanita Coptic juga menjaga wajah mereka menyelubungi.
Efek yang negatif menyelubungi dan pingitan, kebiasaan yang telah mula-mula bermaksud untuk memberi penghormatan dan membedakan dengan jelas ke para wanita, datang dengan mengeraskan mereka ke dalam alur pikir untuk menjadi ajaran agama dan menerapkan dengan keras kepada para wanita dalam semua lingkungan. Praktik dari yang asli harem untuk para wanita di dalam istana atau rumah besar, yang mempunyai mobilitas lebih di dalam rumah tangga dan kesempatan untuk gabung dalam aktivitas banyak orang di dalam lingkungan ini, adalah kebiasaan yang sungguh lain untuk para wanita yang lebih miskin mengurung rumah kecil dan menghalangi masyarakat itu. Bagaimanapun terjadi, sekali ketika kebiasaan ini telah diberi otoritas religius genap menuju/mendorong hilangnya hak para untuk didepan umum sholat di mesjid. Beberapa pertanyaan tentang perempuan meninggalkan pingitannya untuk terlibat dalam aktivitas yang akan menarik perhatian publik kepadanya telah disalahkan oleh yang dipelajari. Walaupun al-Qur’an menekankan kewajiban orang dan para wanita religius yang timbal balik, ketidak-mampuan wanita-wanita untuk memuja publik menjadi dibenarkan dan secara berangsur-angsur menuju/mendorong suatu ketiadaan pemujaan mereka sendirian. Ini adalah suatu masalah yang telah memperluas bahkan ke waktu modern. Sebagaimana Muhammad Al-Ghazzali yang diamati mengenai Wanita-Wanita Orang mesir 20 tahun yang lalu,".. .. Sembilan puluh persen dari wanita-wanita yang berkerudung tidak berdoa/ mohon sama sekali; atau pun melakukan tugas-tugas Islam lain dari nama mereka."
Ketiadaan wanita-wanita keikutsertaan di dalam hidup rohani mesjid, yang adalah juga pusat pendidikan dan hidup masyarakat, memaksa mereka untuk memimpin suatu hidup serius perampasan budaya seperti halnya ketergantungan ekonomi absolut. Sebab waktu itu telah dibenarkan para wanita itu adalah tidak pantas untuk jabatan dalam pemerintahan atau ketenaga-kerjaan dan oleh karena itu di dalam tidak usah dari suatu pendidikan.
Pembatasan ruanglingkup dari tugas-tugas dan mobilitas semua wanita kepada peran tak berpendidikan sederhana dan tidak merdeka secara psikologi, secara ekonomis dan secara sosial dari pada kaum laki-laki. Hanya tuntutan ekonomi hidup memperlemah kritikan pingitan, Seperti itu, fellahin dan wanita-wanita badui yang melakukan pekerjaan di luar di dalam bidang atau memimpin migras hidup dibanding pertengahan dan kelas tertinggi status ekonomi siapa tidak pernah mengharuskan pekerjaan atau aktivitas Di luar rumah itu . Wanita-Wanita ini menetapkan norma dan dipenjarakan/ditahan diri mereka di dalam suatu sosial ideal. Jauh mencapai efek contoh mereka ia dapat dilihat gambaran yang rindu untuk harem yang ideal yang dengan kritis yang diuraikan oleh Aziza Hussein yang percaya bahwanya " ideal" adalah bertanggung jawab untuk banyak sikap ambivalen tentang para wanita hari ini. Menurut Mrs. Flussein, tempat kediaman para wanita.
perkawinan adalah suatu perihal untuk diatur oleh keluarga, Sebagai isteri, ketundukan dan kepasifannya kepada tingkah dan keinginan suaminya adalah ukuran suksesnya … pendidikannya, di luar nilai yang utama, adalah penuh diperhatikan suatu pemborosan waktu atau bahkan suatu resiko berbahaya kepada kewanitaannya selagi ketenaga-kerjaannya adalah aib, ketika itu ditandai ketidakmampuan kepala keluarga untuk mengisi fungsi dasarnya sebagai penyedia yang keuangan keluarga … Dia pada umumnya menjadi kekanakan putranya atas biaya putrinya, dan dengan begitu disiapkan dia untuk perannya sebagai penguasa mutlak dari keluarga masa depan miliknya … tanpa fungsi dasar yang dia sering memilih ke sihir dan yang hal-hal yang gaib untuk memberi pelepasan kepada frustrasinya dan perhatian utamanya di dalam sangat melakukan pada umumnya untuk temukan rumusan itu... untuk menjaga suaminya.
Tendensi hidupnya peran terbatas di dalam keluarga dan status yang rendah di dalam masyarakat yang muncul mudah diabadikan untuk generasi. Kehidupan dari dunianya adalah diperluas pada tingkat keluarga, suatu struktur keluarga yang utama untuk banyak dari beberapa berabad-abad di (dalam) Mesir. Suatu Nampak semakin dekat bekerjanya di tingkat keluarga memberikan kita dengan suatu ilustrasi yang penting hidup itu para laki-laki dan perempuan di dalam rumah tangga dan tentang sikap yang tradisional, terhadap pria dan wanita dikembangkan untuk masa kanak-kanak mereka. Dan, sejak tingkat keluarga yang secara alami mencerminkan kebiasaan sosial pingitan dari waktu itu,(wanita pingitan, ketiadaan pendidikan, dll.) suatu analisa keluarga kebiasaan dapat juga membantu ke arah menyediakan pertimbangan untuk yang berangsur-angsur hilangnya tanggung-jawab dan hak para wanita yang diwarisi oleh al-Qur'an.
Tingkat keluarga menjalankan sesuatu dengan sangat praktis, dirinya cukup dalam unit ekonomi di dalam suatu ekonomi agraris. Rumah tangga berisi bapak, isteri, para putri dan para putra belum kawin dan menikah para putra dengan anak-anak dan isteri mereka, semua dari yang telah berperan dirumuskan dengan baik di dalam struktur keluarga. Peran memberikan pada perempuan sebagai kemampuan memberikan keturunan dan pelayanan rumahc adalah paling sesuai kepada pingitannya dan ketiadaan pendidikan, tetapi pantas tidaknya itu tanpa disadari melayani untuk membatasi potensinya dan mengabadikan terus mnerus status lebih rendah. Mencerminkan hilangnya tanggung-jawab dan hilangnya hak para wanita, hampir tiap-tiap karakteristik tingkat keluarga berwujud kekuasaan orang tua dan supremasi pria.
Yang pertama dari semua, keluarga dari patrilineal (garis ayah), yaitu bersandar pada kekerabatan pria. Ini adalah diterangkan dalam Pepatah Arab : " Orang-Orang mempercayakan pada bapak dan bukan pada ibu; ibu seperti suatu kapal minyak yang dikosongkan." Ke dua, adalah patriarkal pria yang paling tua, seperti penguasa keluarga dan kepala tingkat keluarga, mengendalikan semua keluarga dan kekayaan. Oleh karena itu, para putra dalam keluarga sudah takdir tidak memelihara namanya tetapi juga melindungi kekuatan dan kekayaannya. Peran ibu di dalam tingkat keluarga berkisar pada keibuan. Pantas sekali wanita di Kampung digambarkan sebagai suatu " amplop untuk konsepsi," dan gengsi nya dipertinggi oleh banyaknya anak-anak pria dapat menunjangnya. Sekali ketika putra dilahirkan, dentas ibu dipadukan dengannya menyebut dia sesudah itu dipanggil "ibu putra anak sulung" atau " Umm Nabil," sebagai contoh. Keunggulan mampu melahirkan adalah suatu hidup perempuan dapat juga dilihat oleh fakta bahwa ketika seorang perempuan mecapai monoppaus, periode ini hidupnya telah mengarah jadi dikenal sebagai " zaman hilangnya harapan." Tingkat keluarga yang ke tiga partilocal, maksud/arti yang menikah para putra membawa pulang melainkan bersikap merendahkan diri posisi isteri yang muda di bawah otoritas ibu mertuanya dengan ditingkatkan ketika dia melahirkan anak, terutama pria. Pada sisi lain, tak berketurunan atau kegagalan untuk membawa seorang pria anak adalah sering dipertimbangkan alasan-alasan untuk bercerai.
Secara alami, dari suatu segi pandangan keluarga, kelahiran para putra adalah suatu kegembiraan besar karena mereka menentukan pertumbuhan masa depan keluarga dan menggerakkan. Doa perempuan yang pertengahan telah menjadi " Para putra, memberi aku para putra," sedang para teman dan keluarga ingin seorang laki-laki " Tujuh para putra dan tujuh ziarah," karena sebagai suatu pepatah tua mengatakan, " Anak laki-laki adalah tulang punggung keluarga." Bagaimanapun, di dalam perbedaan itu bukanlah sukar untuk memahami keluarga sentiments mengenai kelahiran seorang putri, suatu waktu ketika " ambang pintu suatu rumah menangis untuk 40 hari." Yang pasti, peran wanita-wanita mampu melahirkan adalah paling utama dalam suatu bertumbuh masyarakat sedang kekurangan tenaga kerja tetap, tetapi peran ini akan dipenuhi hanya atas perkawinannya. Oleh karena itu, keluarga lain (yaitu famili suami) telah diperuntukkan untuk menerima keuntungan-keuntungan anak-anak putri akan membawa. Dan, sampai perkawinan, terpisah dari sosial dan intelektual keuntungan-keuntungan dunia luar, dia telah disenangkan secara psikologis dan dengan beralasan untuk lebih dari peran pelayan rumahtangga. Pada lain tangan, saudara laki-lakinya, yang akan berfungsi sebagai penyedia keuangan, secara alami diunjukkan ke sosial lebih besar, peluang ekonomi dan bidang pendidikan dalam rangka kembangkan tanggung jawab dan kemerdekaan mereka.
Dengan perbedaan yang besar antara peluang dan hidup mengalami tersedia untuk para laki-laki dan perempuan, itu tidaklah mengejutkan bahwa wanita-wanita yang telah hilang banyak dari tanggung-jawab dan hak mereka tidak pernah genap dicoba untuk mengakuinya. Sepanjang periode status wanita-wanita rendah, kebiasaan sosial yang mencerminkan peran yang terbatas pasifnya adalah sering pada perbedaan besar dengan prinsip Hukum Islam tertentu. Di dalam pengaturan perkawinannya, sebagai contoh, Hukum Islam menetapkan bahwa putri dan bukan bapaknya menerima mas kawin. Bagaimanapun, penjumlahan yang biasanya berfungsi sebagai " harga pasangan pengantin perempuan" yang diberikan kepada keluarganya. Situasi ini, menirukan praktek di dalam ba'1 perkawinan yang pre-Islamic, adalah satu ilustrasi penyusupan/perembesan dari kebiasaan pre-Islamic ke dalam praktek umum. Kepada tingkat bahwa ini pengaturan memperoleh penerimaan umum, putri, bertentangan dengan Tujuan Qur'anic, menjadi obyek itu dibanding/bukannya pokok persetujuan perkawinan.
Perjanjian Perkawinan dipertimbangkan Islam untuk menjadi perjanjian yang berisi suatu penawaran dan penerimaan antara dua kemerdekaan kelompok yang telah mencapai masa remaja. Bagaimanapun, struktur sosial dan struktur ekonomi tingkat keluarga yang telah membuka peluang terikat kontrak perkawinan oleh para bapak atau kakek pasangan adalah sering anak-anak yang sangat muda, Lagipula, kontrak tidak bisa ditanggalkan oleh anak-anak ketika mereka mencapai pubertas ( Hanafi Hukum).
Kendali pengaturan perkawinan yang digunakan oleh keluarga suami datang dari ketergantungan ekonomi pria pad bapaknya untuk mas kawin dan kebutuhannya untuk persetujuan keluarganya, tentang anak perempuan ia berniat untuk menyadarkan seseorang menyesuaikan diri dengan mereka. Keluarga pasangan pengantin perempuan juga secara alami mempunyai kendali penuh atas pilihan perkawinannya karena anak-anak perempuan, yang dikucilkan di dalam keluarga dan menikah yang sangat muda, kekurangan diskriminasi itu seperti halnya peluang untuk temu orang dapat dipilih dengan sendirinya. Dan, walaupun putri bisa di depan hukum menolak perkawinan yang diatur di dalam situasi tertentu, ini " mengabaikan perintah" pasti telah menyebabkan berbagai kesulitan besar dengan keluarganya.
Penanganan keluarga suatu hak warisan putri juga akibat kebiasaan sosial. Ketika kita sudah melihat, al-Qur'an mencakup isteri, ibu dan para putri di antara yang utama mewarisi yang ditinggal yang berhak atas bagian ditetapkan. Bagaimanapun, memberi struktur pada tingkat sosial keluarga, menghadiahkan para putri dinikahi yang bagian atau uang yang syah mereka adalah sering dipandang sebagai memindahkan kekayaan keluarga ke keluarga orang asing. Dengan begitu hukum ini, dipandang sebagai bertentangan dengan struktur sosial yang ada, adalah sering diabaikan atau mengelakkan melalui waqf pemberkatan religius. Walaupun waqf mempunyai suatu alasan mulia, adalah sial digunakan di masa lalu untuk menghindari menghadiahkan seorang perempuan hak warisannya. Melalui waqf suatu keluarga bisa menetapkan persisnya siapa yang perlu menerima pendapatan dari pemilikan keluarga tertentu. Sebagai hasilnya, beberapa pendiri Waqf yang yang telah menolak para putri mereka manapun bagian di dalam pendapatan dan orang yang lain yang yang telah menetapkan bahwa setelah perkawinan putri melepaskan bagiannya.
Setelah perkawinan, posisi wanita-wanita rendah di dalam keluarga dan masyarakat digambarkan baik oleh praktek yang diterima menceraikan. Kendali Keras hidup putri oleh bapaknya telah ditransfer ke suami itu ketika putri menjadi isteri. Banyak faktor nampak untuk mempunyai mendukung status isteri dan suami yang berbeda. Yang pertama Dari semua, status yang tinggi memberi pria itu dari waktunya kelahirannya seperti halnya yang lebih luas peluang untuk sosial dan pengembangan intelektual menempatkan dia di atas wanita dari masa kanak-kanak. Suatu perbedaan besar di dalam kedewasaan dan mengalami antara suami dan isteri adalah juga dalam kaitan dengan fakta bahwa para putri telah dinikahi yang sangat muda untuk berhemat siapa yang adalah sedikit banyaknya lebih tua, mungkin yang lebih terdididik dan pasti yang lebih menuruti cara duniawi. Secara alami, mempertimbangkan keadaan itu para suami akan main peran dominan di dalam hubungan dari setiap permulaan. Cermin keadaan di atas, seperti halnya suatu betul-betul patriat. bercakap-cakap masyarakat, perceraian telah ditinggalkan hampir semata-mata untuk pertimbangan suami. Sesungguhnya, perlakuan khusus perceraian mengabulkan kepada pria (paling khususnya yang memberikan contoh yang penuh dosa tetapi sah/tentang undang-undang talak al-bid'a) bertindak sebagai salah satu dari yang paling membentur contoh pengaruh dari kebiasaan sosial atas Hukum Islam. Di dalam beribu-ribu tahun perbedaan pengaruh kebiasaan juga telah menunjukkan kekuatannya di dalam hak perceraian terbatas tersedia untuk isteri, di samping itu al-Qur'an mengakatakan
" Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.[8]
Sebagai tambahan, oleh karena situasi yang sosial, isteri yang adalah sangat secara sosial dan secara ekonomis bergantung jarang memulai perceraian genap atas dasar hak ini.
Contoh penting lain kendali suami atas isterinya buat caranya ke dalam praktek sah tentang undang-undang diterima dikenal sebagai Bayt al-ta’a( Rumah ketaatan) yang mana masih berlaku di Mesir hari ini. Dengan Bayt al-ta'a jika seorang isteri meninggalkan rumah suaminya tanpa ijinnya, ia boleh melaporkan kepolisi untuk setengah memaksa dan boleh memenjarakan sampai dia menjadi lebih taat.
Otoritas suami karena perkawinan juga meluas seperti berbagai hal pemeliharaan anak-anak itu. Walaupun peran ibu eksklusif di dalam tradisional tingkat keluarga berkisar pada ketegasan dan pembesaran anak-anak, bapak mereka, setelah perceraian, selalu menerima penjagaan anak-anak lelaki tujuh dan anak-anak perempuan sembilan sebab ia untuk memelihara menjadi wali sah dalam undang-undang mereka. Struktur tingkat keluarga juga memudahkan pengaturan seperti itu wanita-wanita banyak orang (para nenek, tante, dll.) akan didapatkan rumah suaminya untuk mempedulikan anak-anak. Tentu saja, bapak adalah juga memelihara yang sah dlam undang-undang anak dan peran ini membantu ke arah membenarkan haknya karena perkawinan.
Tanggung-Jawab yang keuangan pria di dalam ahli waris dan masyarakat tradisional peran pusat sama para pendukung keluarga melayani seperti suatu faktor penting untuk memahami kuasa-kuasa yang sah tentang undang-undang yang diwarisi kepadanya. Seperti telah tersebut, pria adalah tunduk kepada tanggung-jawab keuangan sangat luas kedua-duanya untuk keluarga mereka dan untuk banyak anggota tingkat keluarga terutama wanita. Pertanda selalu bisa diharapkan memelihara hidup dari keluarga pria terdekat mereka. Tentu, bersama dengan beratnya tanggung-jawab pantas dipertimbangkan dan seperti itu gengsi di dalam masyarakat tradisional, timur dan barat. Sikap ini dicerminkan Keluarga Orang Islam di dalam mazhab Hanafi Kebutuhan seorang laki-laki memelihara isterinya dengan mengabaikan Kepunyaannya kekayaan pribadi. Kewajiban yang tak memenuhi syarat ini juga mengakibatkan sosial kuat menghukum melawan terhadap suatu pencari nafkah wanita-wanita yang akan memalukan kaum laki-laki dengan menyiratkan ketidak-mampuan mereka untuk memenuhi peran tradisional mereka.

E. Kesimpulan




Gambaran yang muncul dari suatu analisa tentang status wanita-wanita di dalam Islam adalah banyak sekali. Implementasi al-Qur’an jelas mengubah dan meningkatkannya pada posisi yang sederajat dalam peran keluarga dan masyarakat. Bagaimanapun, peristiwa historis yang merendahkan status wanita merupakan akibat dari asimilasi dan pengaruh budaya yang terkadang menghilangkan hak yang semestinya diraih.

[1] An-nahl(16) : 58-59.
[2] An-nisaa(4):3
[3] An-nisaa(4):129
[4] An-nisaa(4):4
[5] An-nisaa(4):124
[6] Al-ahzab(33):59
[7] An-nuur(24):31
[8] Al-baqarah(2) : 228